Kamis, 12 Desember 2013

Placement Monbukagakusho

Assalamualaikum!

Posting ini dibuat berdasarkan pengalaman. Buat yang mau apply Beasiswa Monbukagakusho pasti banyak yang ragu gara-gara takut kesasar program studi atau kesasar ke universitas yang gak terkenal. Bukan cuma itu sih, di brosurnya juga gak begitu dijelaskan gimana penentuan program studi sama universitasnya.

Jadi teman-teman yang mau apply, jangan malu-malu buat apply.

Pertama buat program studi (undergraduate/S1). Nanti, kalau udah lewat seleksi tertulis, bakalan ada wawancara di Kedutaan Besar Jepang yang di Jakarta. Sebelum wawancara bakalan disuruh ngisi banyak formulir, salah satunya itu pilihan program studi. Nah, dari situlah ditentukan program studinya. Kalau takut kesasar program studi, yah menurut saya isinya cukup pilihan pertamanya aja. Buat apa juga udah jauh-jauh ke Jepang tapi gak dapat program studi yang sesuai dengan keinginan. Buat tahun keberangkatan 2014, seluruhnya bisa dibilang dapat pilihan pertama untuk program studi.

Buat masalah universitas. Kelebihan dari ikut yang S1 itu ada di sini. Kalau D3 dan D2 itu universitasnya dipilihan, tapi S1 beda. Saya juga baru aja dapat informasinya. Jadi nanti buat grantee S1 bakalan disuruh milih tujuh universitas. Berdasarkan hasil studi di sekolah persiapan selama setahun bisa ditentukan nanti masuk ke universitas mana. Mau masuk Todai? Kenapa nggak.

Wassalamualaikum!

Selasa, 10 Desember 2013

Bertambah

Assalamualaikum!

Ada kalanya kita punya begitu banyak hal yang ingin dibicarakan, tapi gak bisa dimaterialisasikan. Bahan pembicaraan itu cuma ada di pikiran aja, gak pernah sempat jadi kata-kata yang keluar dari mulut. Kalau ada yang pernah baca Norwegian Wood-nya Haruki Murakami mungkin bakalan tahu sama Naoko yang sepanjang cerita sering terdiam tiba-tiba cuma karena gak bisa ngungkapkan apa yang mau dibilangnya.

Jadi kenapa bahas yang beginian?

Yah kurang lebih karena sedang ngalamin hal yang sama. Kadang saya kepikiran kalau tambah tua itu sebenarnya beban. Bukan beban yang datang karena harus bertanggung jawab dengan diri sendiri, tapi beban karena bertambahnya wawasan, ilmu, dan pengalaman. Normalnya, semakin tua seseorang, maka semakin banyak pula ilmunya. Sekarang bandingkan orang tua dengan anak-anak. Mana di antara kedua itu yang lebih stres? Mana yang lebih kesulitan untuk bicara, yang lebih sering mengalami kejadian yang saya sebutin di paragraf pertama?

Orang lebih tua?

Menurut saya sendiri jelas orang yang lebih tua yang demikian.
Gitu aja sih.

Wassalamualaikum!

Sabtu, 07 Desember 2013

Mimpi Jadi Nyata

Assalamualaikum!

Makasih, makasih kepada setiap orang yang pernah saya temui dan kenali. Terima kasih dengan kuantitas yang tidak tersebutkan kepada kedua orang tua, kedua abang dan kedua kakak ipar. Terima kasih yang sama banyaknya kepada semua saudara. Dan terima kasih kepada seluruh teman-teman saya yang luar biasa. 


Rabu, 4 Desember 2013, dengan malas-malasan akhirnya saya sampai juga di kampus buat ngerjain tugas fisika. Tugasnya adalah membuat alat peraga dengan suatu konsep fisika tertentu. Setelah banyak membuang waktu karena anggota telat, alat tinggal, alat hilang, alat kurang dan sebagainya, akhirnya tugas itu bisa disebut selesai juga. Saya langsung pulang setelah gak ada lagi yang bisa dikerjakan.


Seperti hari-hari kuliah pada umumnya, untuk pulang itu pertama naik angkot dari belakang ITB. Kurang lebih lima/enam lagu kemudian, turun di persimpangan ke Jln.Gegerkalong Hilir yang ada di Jln.Setiabudhi. Habis itu jalan pelan-pelan sambil ngelamun ke lokasi ngetem angkot-angkot di sepanjang Gegerkalong. Angkot pertama yang bisa dijumpain itu angkot warna kuning yang biasanya selalu kosong. Jalan lagi sedikit dan sampailah di samping angkot hijau yang entah kenapa selalu lebih cepat terisi. Bagian yang paling ngeselin setiap mau naik angkot di tempat ini adalah bagian dipanggil-panggil sama supir angkotnya. "Ayo!", "Polban! Polban! Ayo aa'!", "Ciwaruga aa'!". Mereka manggilin penumpang seolah penumpang itu gak tahu mau pergi ke mana. Dan itu cuma sebagian dari banyak varian cara pemanggilan penumpang lainnya yang biasa mereka lakukan. Saya naik ke salah satu angkot hijau yang trayeknya saya lupa. Setelah memenuhi syarat untuk jalan (penumpang di kanan ada tujuh, penumpang kiri ada lima, penumpang dekat pintu ada dua dan penumpang di kursi depan ada dua), angkotnya akhirnya melaju juga ninggalin spot ngetemnya. 


Kosan saya gak begitu jauh dari simpang. Setiap naik angkotnya, biasanya saya itu penumpang yang pertama kali turun. Saya turun di simpang ke komplek, jalan sedikit dan akhirnya sampai juga di depan pagar kosan. Sampai di kamar, saya langsung menjalankan SOP 'Sampai di Kamar Kos'. Berikut adalah langkah-langkahnya: gantung jaket, simpan kacamata dan dompet, simpan kunci pagar di tas, letak handphone di samping tempat tidur, kosongkan tas dari buku-buku, ganti celana, lepas kemeja (kalau pakai). 


Setelah semua itu dikerjakan, saya langsung meriksa handphone yang saya pakai buat buka internet. Handphone ini udah gak ada kartunya lagi, dan cuma bisa online kalau ada wifi aja. Singkatnya, handphone itu cuma online di kosan aja. Notifikasi yang pertama kali saya cek itu adalah email masuk. Email masuk sore itu yang ngebuat saya terkejut. Lebih tepatnya, subjek email yang masuk itu yang buat saya terkejut. Subjeknya: Pengumuman Seleksi Final Beasiswa Monbukagakusho S1/D3/D2. Tapi ini masih Desember, bukannya pengumumannya Januari? Tanpa selesai ngebaca isi emailnya, saya langsung buka attachment yang isinya list peserta yang lolos seleksi. Degup jantung saya waktu ngecek attachment itu sampai terasa getarannya saking cepatnya.




And there it was my name. 

Wassalamualaikum!


Selasa, 01 Oktober 2013

Bahasa Itu Relatif

Assalamualaikum!

Gak terasa satu bulan dijalanin sebagai mahasiswa, sebulan lebih sedikit lah. Jadi selama sebulan tinggal di Bandung, saya sudah bermandikan budaya-budaya yang jauh berbeda. Umumnya sih jumpa kalo gak orang Bandung, Jakarta atau orang-orang dari daerah Jawa yang kalau udah jumpa sesama Jawa langsung bercengkerama dengan bahasa yang tidak bisa saya mengerti kecuali 'ora' dan 'iso'. Dari sekian banyak hal asing yang saya jumpai di sini, salah satu yang paling buat rumit itu bahasa.

Ada banyak kata-kata yang biasa dipakai di Medan punya arti yang berbeda untuk hampir semua orang yang saya temui di sini. Berikut ada beberapa kata yang buat heran kalau udah diucapin:

1. SEMALAM

Di Medan: Kemarin, hari yang lalu, suatu waktu di masa lalu.
Di Bandung (dan seluruh Indonesia mungkin): Malam yang lalu (last night)

Kalo di Medan, bilang apa-apa yang udah terjadi di masa lalu, yang umumnya jaraknya masih beberapa hari itu seringnya pakai ‘semalam’ atau kadang dibilangnya ‘semalam-semalam’. Tapi, pas sampai di sini, terus bicara sama teman pakai ‘semalam’, langsung reaksinya muka bingung atau, “Hah?”. Misalnya:

A: Udah siap ngerjain tugas fisika?
B: Tugas yang mana?
A: Itu lo, tugas yang dikasih semalam.
B: Emang semalam ada kuliah?

Yah, gitulah, dan ini kejadiannya hampir tiap hari. Syukurnya sekarang udah ada beberapa teman yang bisa toleransi dan ngerti kalau dengar kata ‘semalam’.

2. PANDAI

Di Medan: Bisa, mampu
Di Bandung (dan mungkin juga seluruh Indonesia): Jago, ahli

Kalau di sini saya bilang, “Gak pandai,” orang-orang berasumsi kalau sebenarnya saya bisa, padahal maksud saya sebenarnya itu sama sekali gak bisa. Bahkan terkadang saya ngomongnya juga bukan, “Gak pandai,” tapi, “Gak pande.”. Hasilnya…. Semakin banyak orang yang bingung.

3. MANDI

Di Medan: Membersihkan tubuh, teh manis dingin
Di Bandung: Membersihkan tubuh (saja)

Jadi suatu siang saya makan siang bersama beberapa orang lainnya. Waktu ditanya mau minum apa, saya jawabnya, “Mandi!”. Setelah bilang kata itu, gak ada respon sama sekali, bahkan saya dikira mengatakan sesuatu yang sama sekali gak ada hubungannya sama mesan minuman. Di kesempatan yang lain saya mesan minuman itu lagi. Supaya abang-abang tukang jualannya ngerti, saya bilangnya, “Teh manis dingin!”. Tapi ternyata sama saja, abang itu tetap aja gak ngerti. Pesanannya akhirnya baru dipahami setelah bilang, “Es teh manis.”

Itu beberapa kata yang udah saya dapati bisa buat miskomunikasi. Kayaknya masih ada banyak kata-kata lain lagi yang punya makna lain juga di sini, tapi sekarang yang kepikiran sama saya baru ini aja. Terima kasih buat yang baca.

Wassalamulaikum! 

Rabu, 11 September 2013

Minggu-minggu Awal di Lembah

Assalamualaikum!

Udah sebulan lebih aja saya gak ada buat apa-apa di sini. Selama sebulan itu badai telah datang dan telah berlalu.


Hal pertama yang paling penting tentunya sekarang saya udah jadi mahasiwa. Kalau beberapa bulan yang lalu, sekalipun udah lulus SNMPTN, tetap aja disebutnya calon mahasiswa baru, jadi belum bisa bangga jadi mahasiswa ITB. Alhamdulillah sekarang udah jadi mahasiswa, udah punya NIM sendiri dan udah punya KTM dengan foto yang tentunya tidak memuaskan. Jadi sekarang di dalam dompet ada KTP - KTM - ATM. 


Walaupun demikian, sampai sekarang saya masih belum resmi jadi mahasiswa Mengapa bisa begitu? Ya karena tidak diresmikan sama rektor. Jadi, peresmian mahasiswa baru itu diadainnya tanggal 19 Agustus (Minggu). Hari itu bertepatan dengan tanggal diadakannya tes beasiswa Monbukagakusho. Demi mengejar mimpi berkuliah di negeri orang, maka peresmian jadi mahasiswa baru-pun saya lewatkan, gitu juga dengan kegiatan OSKM (orientasi mahasiwa baru) yang diadain selama seminggu setelah peresmian, semuanya gak ada yang saya ikuti. Tapi, kalau untuk yang orientasi, saya gak hadirnya karena sakit. 


Pertamanya sih waktu hari Senin cuma demam dan gejala-gejala yang menyertainya. Sampai ke Selasa masih demam, Rabu juga, Kamis masih panas, Jumat gak berubah juga, Sabtu akhirnya berobat ke dokter. Dokternya bilang mungkin gejala tipes/tipus (gimana nulisnya?). Sabtu-Minggu kayak hari-hari sebelumnya dihabiskan dengan makan-tidur-makan-tidur sampai tiba-tiba udah hari Senin aja. Senin itu juga badan masih oyong-oyong kayak mabuk gimana gitu, kadang-kadang waktu jalan tiba-tiba belok, kadang juga keterusan. Kuliah perdana hari itu jadi sama sekali tidak berkesan karena kompilikasi demam yg gak hilang-hilang juga.


Pulang kuliah, saya periksa darah di rumah sakit yang letaknya dekat dari ITB yang namanya saya samarkan agar tidak berkesan iklan. Saya sempat takut buat ambil darah, karena kurang lebih dua minggu sebelumnya saya sempat hampir pingsan setelah ambil darah di Medan. Suster di Medan waktu itu betul-betul ganas ngambil darahnya. Biasanya kan kalau ngambil darah itu disentil-sentil sedikit tangannya, terus disuntik, terus darahnya dihisap. Tapi kalau sama suster yang ini, tangannya disuntik, terus suntiknya diaduk-aduk di dalam tangan ke kanan ke kiri kayak mau ngegali sumber darahnya. Parahnya lagi, karena tegang plus sakit, darahnya gak keluar-keluar. Ditambah lagi dengan tidak tidur dan makan apa-apa semalaman, pengambilan darah waktu itupun berakhir dengan pandangan saya jadi gelap dan badan lemas gak bisa dikendalikan.


Syukurnya, pengambilan darah kali ini berjalan sukses. Setelah disuntik (katanya rasanya kayak digigit semut padahal nggak), saya nunggu kurang lebih satu setengah jam buat dapat hasilnya. Sebelum saya periksa darah, saya udah periksa dulu ke dokter di rumah sakit itu, dokter itu juga yang nyuruh saya meriksa darah karena dia takut kalau saya kena tipus/tipes. Hasil pemeriksaan datang, masih dalam keadaan belum terbaca langsung saya bawa ke dokter yang sebelumnya meriksa saya. Bapak dokter yang mirip Pak Irianto itu bilang, "Trombosit kamu rendah sekali, cuma 60 ribu."


Krik krik krik. Yang dari semalam-semalam dibilang tipus, ternyata demam berdarah. Sebagai seorang anak yang baik, saya langsung melaporkannya ke kedua orang tua. Kalau ayah sih ya stay cool aja dengar beritanya. Kalau mama beda lagi, pertama nadanya penasaran mau tahu hasilnya, terus nadanya jadi pelan karena terkejut dengar hasil, pelan-pelan berubah jadi nada terisak karena panik anaknya gimana. Setelah itu datanglah perintah luar biasa untuk pulang ke Medan dan dirawat di sana, untung ada dokternya yang ngejelasin kalau saya harus segera di-infus dan dirawat karena trombosit normal itu range-nya 150 ribu - 450 ribu, sedangkan punya saya cuma 60 ribu. 


Berpuluh panggilan masuk dan panggilan keluar kemudian, dokternya ngasih surat rujukan ke rumah sakit lain yang ternyata letaknya nun jauh di sana. Saya gak mau dirawat di rumah sakit itu karena kamar yang cuma tersedia itu kamar VIP, dan harganya jutaan buat sehari. Gila, DBD aja sampai semahal itu. Lagi-lagi syukurnya keluarga kosan saya itu betul-betul baik, akhirnya saya diurusin sama cucu nenek kosan saya dan kurang lebih tiga jam kemudian dapat kamar di rumah sakit umum pemerintah Bandung yang sering masuk TV itu. Malam itu abang saya dari Jakarta datang buat jagain, besoknya mama saya langsung terbang dari Medan buat anaknya yang paling kecil.



Supaya pasiennya gak lari kali ya?
Luar biasanya, hari Kamis saya udah keluar dari rumah sakit. Pengalaman orang lain sih katanya DBD biasanya dirawatnya seminggu lebih gitu. Saya mikirnya kalau bagian parahnya itu udah saya lewatin selama seminggu yang lalu, dan bagian di rumah sakit itu cuma bagian penyembuhannya. Proses di rumah sakit itu dilewatin dengan entah berapa gelas air putih dalam sehari, dan entah berapa kali nyorongin gantung infus ke kamar mandi buat buang air kecil. Alhamdulillah semuanya udah berlalu, dan empat hari kuliah saya lewatkan minggu itu.

Begitulah minggu-minggu pertama saya tinggal di Bandung. Semoga minggu-minggu ke depannya tidak kalah luar biasa! (tanpa penyakit tentunya)


Wassalamualaikum!


Sabtu, 03 Agustus 2013

Tabungan Bank

Assalamualaikum!

Memang telat buat ngucapinnya, telat kali bahkan. Tetapi sebelumnya saya ingin mengucapkan: Selamat Menjalankan Ibadah Puasa!

Bulan Ramadan ini saya dapat sesuatu yang baru. Baju baru? Bukan. Sepatu baru? Bukan. Mobil baru? Nyupir aja belum mampu. Yang saya dapat adalah tabungan baru, milik saya sendiri. Sebenarnya saya udah punya tabungan sejak kelas 2 SD. Jadi, waktu itu ada acara 17 Agustus-an di SD, terus saya naik ke panggung untuk alasan yang saya udah lupa. Pas turun dikasih hadiahnya tabungan sebesar Rp 50.000,- dari Bank Syariah Mandiri. Setelah itu, saya yang saat itu imutnya sedang pada tingkat maksimum relatif (sekarang pun masih pada tingkatan demikian) pergi ke bank untuk mengurus tabungan. Pulangnya saya bawa buku tabungan atas nama: Luthfan Anshar Lubis. Tapi ada tambahan nama lagi, di belakang Lubis- nya ditambahin “QQ Dolores Anastasia Pulungan

Anak kelas 2 SD yang belum punya KTP belum bisa punya tabungan sendiri, jadi begitulah tabungan saya selama sebelas tahun, sampai tamat SMA. Tabungannya sendiri udah banyak jasanya. Setelah nabung selama SD, saya akhirnya bisa beli PSP sendiri waktu masuk SMP. Pakai tabungan ini juga saya kesampaian beli handphone sendiri sampai beli XBOX360. Terima kasihlah pokoknya tabungan!

Jadi, karena sekarang udah mau masuk kuliah, dan kuliahnya jauh dari orang tua, saya jelas butuh tabungan sendiri. Ditambah lagi karena udah punya KTP, yah saya udah bisa bikin tabungannya sendiri, gak pakai embel-embel “QQ” lagi di belakangnya. Kurang lebih dua minggu lalu, tabungannya selesai, dengan saldo yang memrihatinkan.

Selama pengurusan tabungan ini saya sempat berkomunikasi dengan dua orang customer service BSM yang mbak-mbak. Pertama kali saya jumpa mbak customer service buat pembukaan tabungan. Waktu itu saya buka tabungannya di cabang bank yang ukurannya kecil, gak ada antriannya. Jadi, setelah masuk saya langsung dilayanin. Kalau sama mbak-mbak BSM itu agak beda, pas udah sampai di kursi, mbak itu langsung bilang,

“Assalamualaikum. Ada yang bisa saya bantu?”

Salamnya saya jawab. Terus saya dikasih formulir ini, formulir itu, tanda tangan di sini, tanda tangan di situ, jadilah tabungannya. Lancar-lancar aja sama mbak itu, gak ada canggungnya. Tapi beda lagi waktu saya jumpa sama mbak customer service yang kedua buat pengurusan PIN ATM.

Cabang bank yang saya datangin buat ngurus PIN itu beda dengan yang saya datangin buat buka tabungan. Cabang yang ini ada antriannya, pakai nomor antrian yang dicetak itu. Saya masuk, ngomong sama satpam, terus dikasih nomor antrian customer service. Syukurnya antriannya cuma satu orang. Jadi gak lama kemudian saya udah disilahkan ke meja customer service-nya. Sama kayak mbak customer service yang pertama, mbak itu langsung bilang,

“Assalamualaikum. Ada yang bisa saya bantu?” tapi ditambahi mbak itu dengan ngenalin namanya, yang saya udah lupa namanya siapa. Sambil ngomong gitu, mbak itu nyilahkan saya duduk.

Setelah duduk, saya langsung ngomong panjang lebar, “Kemarin saya udah urus kartu ATM-nya mbak, tapi waktu itu nomor PIN-nya belum dicetak. Bisa gak ya mbak di sini dicetak? Kemarin saya ngurus kartunya gak di cabang yang ini. Gak apa-apakan mbak?” mungkin kalau saya lanjutin terus bisa jadi, “Mbak, tolong mbak! Tolong urus kartu ATM saya! TOLONG MBAK!”

Mbak customer service itu tenang aja dengarin terus bilang, “Bisa saya minta nomor antriannya dulu?”

Heh? Pikiran saya melayang-layang. Kenapa dia gak minta nomor antriannya dulu sebelum ngenalin diri? Kenapa dia perlu ngenalin diri? Kenapa dia diam aja pas aku ngomong panjang-panjang? Kayak mana kalau saya gak bisa ngasih nomor antriannya? Tapi gitupun, intinya saya malu. Saya kasih nomor antriannya, terus saya tanya lagi,

“Bisa gak ya mbak?”

Eh dia malah nanya nama saya siapa. Akhirnya kartu ATM itu selesai diurus, yang mana sepanjang pengurusan itu saya dipanggil sebagai “Pak Luthfan” sama mbak itu. Kemudian saya bertanya-tanya dari mana mbak itu tahu alamat email saya.

Wassalamualaikum!

Sabtu, 20 Juli 2013

~ Second Day of Tenei

Assalamualaikum!

Sebelumnya saya udah cerita tuh soal hari kedua, kali ini saya mau lanjutin lagi sampai selesai. Yang belum baca awal hari kedua, ba-caa du-luu saa-naa! Maaf juga udah ditinggalin seminggu - cem banyak yang baca aja.

Setelah makan siang yang menurut saya kurang menyengangkan perut itu (bola nasi + sup + apel), kami digelandang balik ke bus masing-masing sesuai dengan pengelompokan chapter, dalam hal ini chapter akhir saya adalah Kinan. Tujuan kami selanjutnya adalah semacam aula pertemuan gitu, di situ bakalan ada sesi cerita mengenai kejadian tsunami dari korban yang berasal dari Tomioka-machi/Kota Tomioka.

Tempat pertemuannya gak besar-besar kali, tapi seperti seluruh hal yang ada di Jepang, bangunannya punya standar yang bagus. Kami dipersilahkan masuk dan duduk sesuai dengan chapter masing-masing. Acara di situ dibuka dengan presentasi mengenai Tomioka-machi sebelum dihantam bencana. Ibu yang presentasi itu masih agak-agak muda gitu, rambutnya pendek, terus syukurnya bisa Bahasa Inggris. Awal-awal presentasi dia masih senang ngasih penjelasan, tapi mendekati akhir, nadanya berubah bahkan dia hampir nangis gitu waktu teringat kalau rumahnya di Tomioka-machi gak bisa dikunjungi lagi.

Jadi, Tomioka-machi itu kota yang gak parah kena gempa, gak parah juga kena tsunami, tapi parahnya kena radiasi nuklir dari reaktor nuklir Fukushima. Kota itu gak terlalu jauh dari reaktor, alhasil kota harus dievakuasi karena tidak bisa ditinggali lagi. Ibu yang presentasi cerita gimana dulu Tomioka-machi itu terkenal dengan stasiun kereta apinya dan jalan berkilo meter yang sepanjang pinggirannya dihiasi pohon sakura (coba aja search di Google), bahkan ada Festival Bunga Sakura-nya. Kota Tomioka juga punya Festival Api yang udah diselenggara-in selama 800 tahun ditambah lagi stasiun kereta api terindah di Jepang. Sekarang, Tomioka udah ditelantarkan. Ibu itu bisa aja datang ke rumah lamanya, tapi harus dengan pakaian lengkap yang mirip astronot itu - supaya terlindung dari radiasi. Itulah yang buat dia miris pas mendekati bagian akhir presentasinya.

Presentasi dari Ibu berambut pendek ditutup, kemudian acaranya beralih ke bapak-bapak dan ibu-ibu yang jauh lebih tua yang sejak kami datang duduk di tepi ruangan. Beberapa dari bapak-bapak sama ibu-ibu nya bahkan bisa dipanggil kakek-kakek dan nenek-nenek. Bapak-bapak sama ibu-ibu ini juga korban radiasi nuklir dari Kota Tomioka, sekarang mereka tinggal di tempat pengungsian yang didirikan sama Pemerintah Jepang. Karena jumlah peserta banyak, bapak-bapak dan ibu-ibu yang bakalan jadi narasumber itupun dibagi-bagi ke kelompok chapter-chapter. Empat orang narasumber duduk di depan kami dan satu-satu mulai dengan ceritanya masing-masing. Saya masih ada sih catatan lengkap soal pengalaman bapak-bapak sama ibu-ibu itu, cuma kayaknya kalau diceritain satu-satu jadinya betul-betul panjang.

Mungkin saya bisa sampaiin satu-dua cerita yang menurut saya agak luar biasa. Salah seorang bapak-bapak cerita kalau dia itu kerja di perusahaan yang berhubungan dengan supir-menyupir bus. Pas dia pulang, gempa terjadi. Hebatnya, bukannya dia pulang atau sibuk mengkhawatirkan keluarga, dia malah balik ke kantor karena cemas bakalan gak ada yang nyupir di kantor. Terakhir, dia bantuin orang-orang lain evakuasi pakai bus. Selama sharing ini saya ada dapat beberapa informasi mengenai kondisi waktu gempa terjadi bulan Maret 2012 itu:

  1. Setiap telepon seluler itu punya sistem peringatan gempa. Jadi kalau ada gempa, hape-nya ngasitahu sama pemiliknya.
  2. Gempa yang terjadi Maret itu udah diprediksi sama Pemerintah Jepang. 
  3. Komunikasi terputus. Kalau mau komunikasi cuma bisa pakai telepon umum. Demikian juga dengan listrik, air, gas - ikut putus - untuk menghindari hal-hal lainnya.
  4. Masyarakat Tomioka diungsikan ke Kawauchi terus ke Niharu terus ke Koriyama.
Di bagian-bagian akhir sharing itu, ceritanya justru semakin lama semakin serius. Pas dengerin grup lain yang lagi cerita juga, ada aja yang ketawa-ketawa. Grup saya justru pembahasannya lama-lama beralih ke TEPCO (Tokyo Electric Power Company), dan bapak-bapak dan ibu-ibu narasumbernya nyampain keluhannya soal reaktor nuklir. Yah, gitulah. Kurang lebih yang disampaikan setiap narasumbernya sama, hanya pada situasi yang berbeda aja. Sekarang mereka udah tinggal sama-sama di tempat pengungsian.

Waktu ditanya, "Bapak rindu gak tinggal di Tomioka, apa yang paling dirinduin?"

Jawabnya jelas mereka rindu dan yang paling dirindukan itu kebersamaan masyarakatnya. Tapi habis itu bapak itu bilang gak ada gunanya rindu-rindu, sekarang mereka harus bisa kuat untuk tinggal di pengungsian, sekalipun belum tentu bisa pulang lagi. Saya makin kagum gimana mereka udah tua-tua gitu masih kuat dan tetap semangat buat menghadapin bencana yang udah terjadi.

Setelah pembahasan panjang lebar mengenai kejadian di Tomioka-machi, kami dikasih waktu singkat buat belanja di swalayan yang ada di dekat situ. Sebentar aja di situ, kami udah balik ke bus dan dikirim pulang ke hotel British Hills.

Hari itu ditutup dengan kenalan dengan banyak orang baru dan dibodohi permainan-permainan sialan.

Wassalamualaikum!

Senin, 08 Juli 2013

Second Day of Tenei

Assalamualaikum!

Seperti sebelumnya udah saya bilang, saya bakalan cerita lebih dalam mengenai perjalanan ke Jepang sewaktu kunjungan ke Prefektur Fukushima. Oh iya, sekalipun kunjungan kami ke Desa Tenei, kami gak nginap tepat di desanya, kami nginap di hotel bergaya kastil Inggris yang namanya British Hills. Semua gedungnya di-desain macem bangunan jaman dulu Inggris.  Jadi, serasa tinggal di Hogwarts gitu, di tiap kamar juga disediain jubah yang mirip jubah-jubah penyihir di Harry Potter. Skip dulu deh masalah hotelnya, nanti saya bahas lagi.


Seperti bisa dilihat di jadwal yang udah saya upload di postingan sebelumnya (ayo dong yg belum lihat yg pertama, dilihat dulu :D). Kegiatan pertama itu: Temperature check and breakfast. 


Setelah bangun pagi yang begitu sulit. Iya, sulit sekali. Bagi saya, bangun pagi sendiri itu lebih sulit dibandingkan sulitnya si kacang buat ingat sama kulitnya. Pokoknya pagi itu terbangun dan gak terlambat, dan justru saya yang malah bangunin teman sekamar saya yang ada dua orang. Yang pertama Abhisek, dari India. Bukan, sayangnya dia bukan artis Bollywood yang namanya ada Abhisek-abhisek-nya itu. Satu lagi namanya Eman, dari Filipina. Orangnya tipe yang betul-betul senang bergaul dan Bahasa Inggris-nya cem orang Amerika bagusnya.


Waktu saya tulis di atas 'temperature check', itu memang betul-betul ngukur suhu tubuh setiap peserta. Alatnya keren! Kalau di sini kan pakai termometer, harus jepit di ketiak lama-lama (gak tahu deh kondisi ketiaknya cemana). Kalau di sana pakai alat yang cuma lengket ke kulit sebentar, udah bunyi "cetik", langsung deh tahu suhunya berapa. Setelahnya kami breakfast. Seperti sebelumnya, bagi yang makannya ada pantangan punya restoran sendiri dan harus jalan kaki ke sana. Perjalanan ke Pub kali itu jadi kesempatan pertama menikmati salju hasil malam sebelumnya. Berhubung hotelnya juga agak unik, perjalanan ke Pub itu serasa jalan di pedesaan Inggris/Eropa yang penghuninya orang Jepang.


Kegiatan pertama kami di Desa Tenei adalah ngunjungin semacam komunitas desa dan sekitarnya. Dalam beberapa rombongan, kami semua dibawa keliling desa buat ngelihat ada apa aja di desa itu. Ini ada beberapa foto yang agak beda saya masukin



Desa sih desa, tetap aja ada Vellfire-nya.

Ini ada papan caleg-nya. Katanya sih ini partai agak kontroversial.

Papan 'buronan' yang ada di sebelah pos polisi.
Setelah selesai dibawa keliling, kami dibawa balik ke gedung komunitas tadi. Habis itu dibagian semacam adonan nasi, yang disuruh gulung-gulung jadi bentuk bola. Bola nasi-nya ini bukan onigiri yang pakai rumput laut itu. Nasi-nya betul-betul udah halus, bikin bolanya kayak main plastisin. Itulah yang bakalan jadi makan siang kami. Bola-bola nasiitu juga dipakai untuk hiasan pohon. Ini nih ada gambarnya,



Gak musti bola juga, terserah mau bikin apa. Kami juga habis itu dihidangin makan siang ya bola-bola nasi itu juga, tetapi ada saus-nya. Makan siangnya beberapa bola nasi ditambah sup dan apel.

Hmmm, segitu dulu ya. Kalau ditulis satu hari penuh kayaknya bakalan terlalu banyak dan membosankan.

Wassalamualaikum!


Jumat, 05 Juli 2013

First Day of Tenei

Assalamualaikum!

Habis lihat-lihat http://dearcookies.blogspot.com, blog salah satu peserta Kizuna lainnya dari Indonesia, saya jadi kepengen bagi cerita yang lebih mendetail mengenai detail selama lagi di Jepang. Bagian penting dari Kizuna Project itu sendiri sebenarnya adalah mempelajari gimana orang Jepang recover dari bencana gempa + tsunami + nuklir yang waktu itu terjadi. Tapi, karena gak mungkin semua peserta ngelihat seluruh daerah yang terkena efek dari bencana, maka seluruh peserta itu dipisah-pisah untuk melihat daerah-daerah yang berbeda-beda pula. Dan saya sendiri dapat tempat tujuan yang namanya Desa Ten-Ei yang ada di Prefektur/Provinsi Fukushima. 

Kalau dengar kata Fukushima pasti orang-orang langsung mikirnya kami perginya ke reaktor nuklir yang bocor. Sayangnya kami gak pergi ke sana, lagian gak boleh, entar kena radiasi, pulang-pulang jadi mutan. Desa yang kami kunjungi ini rusak sedikit kena gempa (tapi kami gak ditunjukin langsung ke bagian yang rusak), tidak kena tsunami tetapi terkena dampak tidak langsung dari meledaknya reaktor nuklir. Meledaknya reaktor nuklir menimbulkan semacam gosip yang bilangin kalau semua produk dari Fukushima (tidak terkecuali) itu berbahaya. Maka, Desa Ten-Ei yang merupakan   penghasil beras terbaik di Jepang-pun terkena imbas. Hebatnya, setelah setahun desa ini bisa dibilang hampir sembuh karena udah bisa menghilangkan efek-efek berbahaya dari radiasi nuklir. Penduduknya hebat-hebat, belum ada bantuan dari pemerintah aja mereka udah mulai buat berinovasi supaya bisa ngilangin sisa-sisa radiasi dari pertanian mereka. Salut pokoknya!

Salah satu daerah ladang mereka
Kegiatan di Ten-Ei itu berjalan selama 4 hari yang udah termasuk hari kedatangan sama kepulangan. 

Karena bakalan panjang, saya cerita buat kedatangannya dulu deh! Setelah berangkat dari Tokyo dengan shinkansen, kami sampai di stasiun setempat. Terus dibawa pakai bus ke penginapan yang dekat ke desanya. Wah, di penginapan disambutnya sama apa ya istilahnya, kondisinya bersalju ditambah angin kencang. Semacam-semacam badai gitu. Ada acara penyambutan kecil-kecilan di hotel itu. Setiap orang dibagiin okiagari koboushi (maaf kalau salah ketik), semacam mainan kecil yang kalau didorong balik ke posisi semula. Kayaknya handmade, soalnya bentuknya beda semua, ada yang kecil, ada yang besar. Saya gak begitu ingat, apakah besoknya atau malam itu kami dibagikan jadwal kegiatan selama di Tenei Mura.


Ini jadwalnya selama di sana
Jadi, malam kedatangan itu gak ada kelakuin hal yang penting-penting kali. Paling juga kenal-kenalan sama orang dari negara lain. Terus, karena saya Islam, tempat makannya dipisah. Jadi karena waktu itu saljunya agak ganas, yang sesama Islam diangkut pakai mobil ke Pub (iya, Pub yang bar itu) hotelnya buat makan. Selama di situ saya jadi makin kagum sama akomodasi yang disediain. Mereka udah persiapan buat akomodasi orang Islam yang gak bisa makan babi, orang Hindu yang gak boleh makan daging sapi, sama orang vegetarian yang cuma makan sayur.

Begitulah malam pertama di Tenei. Tempat ini juga jadi tempat pertama kalinya buat saya ngelihat salju, megang-megang salju, sampai mijak-mijak salju yang tebal. Oke dah!

Wassalamualakum!


Makan di Restoran Padang

Assalamualaikum!

Hari ini saya pengen membahas sedikit mengenai Restoran Padang dan sejenisnya. Pastinya semua orang tahu yang mana yang namanya Restoran Padang. Dimana-mana ada, dari mulai Aceh sampe Papua mungkin juga ada. Entah kenapa, walaupun ada begitu banyak jenis makanan di Indonesia, tapi Restoran Padang lah yang kelihatannya disukai sama semua orang.

Tapi, yang mau saya bahas itu lebih ke cara penyajian makanan yang ada di Restoran Padang. Tahu laya?

Pertama kita datang, duduk, terus ditanya berapa orang yang makan. Gak lama kemudian, datanglah pelayan mengantar piring makan yang kosong sekalian sama bawa nasi sebaskom. Baru setelahnya datang pelayan super yang bisa bawa piring lauk sampai lebih dari sepuluh biji sekali jalan. Kerennya, piringnya itu gak goyang-goyang di tangannya, bahkan dengan banyak piring di tangan, pelayannya bisa narok piringnya satu-satu ke meja makan kita. Tanpa ada yang tumpah. Kadang bisa juga sih makannya langsung bilang mau pakai apa, apalagi buat yang dompetnya gak tebal, tapi sekarang kita ceritanya yang dihidangin lengkap di meja aja. Ceritanya lagi banyak duit.

Setelah makanan lengkap terhidang, selanjutnya kita tinggal cuci tangan, tuang nasi, terus ambil lauk. Seperti yang kita semua tahu, makan di Restoran Padang itu, sekalipun dihidangin semua, bukan berarti all you can eat. Ada itu seingat saya lawakan soal orang bule yang dihidangin segala lauk, dianya ngira tinggal makan aja. Karena dia pikir mubazir kalau gak habis, dia habisinlah semua makanannya. Terus waktu mau balik dia justru gak bisa bayar bon-nya karena kemahalan. Berkat hari itu diapun tahu kalau makan di Restoran Padang itu bayar sesuai yang dimakan.

Yang mau saya bahas tetapi juga bukan itu. Pertama saya kasih dulu beberapa contoh. Misalnya dikasih sepiring ayam gulai yang ada dua potong, terus kita ambil sepotong, setahu saya itu harus bayar sepiring. Kalau dikasih sepiring sayur, terus cuma dimakan seutrit, bayarnya juga sepiring. Terus kalau kita mau kuah aja, seingatnya saya gak bayar. Tuang aja kuahnya dari tepi piring tanpa ngambil lauknya. Terus kalau geram sama makanannya, pegang-pegang aja, jemet-jemet sampai puaa, asal gak kelihatan diambil atau rusak, makanannya itu gak perlu dibayar kok. Jadi dari sini saya punya beberapa pertanyaan:

1. Kalau saya ambil ayamnya sepotong, ayam yang sepotong lagi diapakan?
Ada gak yang kepikiran gini? Kalau saya rasa, wajarnya yah dibuang, walaupun sayang tapikan udah tercemar sama orang lain. Mana ada yang tahu kalau ayam sepotong lagi masih suci atau udah dijilat-jilatin sama pelanggan sebelumnya karena kelihatan menggoda dan nikmat. Tapi, mungkin ada aja kan restoran pelit yang gak mau rugi. Ayam sepotong lagi, kelihatannya masih bersih campur dah ke sumbernya.
Begitu juga sama sayurnya. Kalau gak diambil sampai habis, terus diapain sisanya? Dibuang kan? Tolong iya, janganlah dicampur lagi.

2. Kalau ada orang jahat gimana?
Misalnya ada nih, orang jahat yang kayak di filem-filem. Dia kena penyakit apa gitu, yang gampang nularinnya, misalnya aja pakai keringat atau mungkin pakai daki. Kalau dia kesal, terus di taburnya dakinya ke dalam kuah gulai ayam, terus gulai ayam itu diambil balik sama restorannya karena kelihatan belum disentuh gimana? Bisa nyebar dong penyakitnya.
Syukur aja sampai sekarang belum ada berita kayak gitu. Semua masih sehat-sehat aja habis makan di Restoran Padang.

Kalau dipikir-pikir, takutnya agak dibuat-buat ya? Tapi ya sudahlah, terima kasih atas perhatiannya.


Wassalamualaikum!

Sabtu, 06 April 2013

Makan Besar

Assalamualaikum!

Lama rasanya nggak ada nambahin tulisan di blog ini. Mohon maklum, sebagai seorang murid kelas XII SMA yang baik dan punya cita-cita tinggi, saya harus belajar dengan rajin untuk menghadapi paket ekonomis ujian murid SMA yang macem three course meal (Betul yak bahasa Inggrisnya?). 

Yak! Benar! Pertama ada makanan pembuka berupa ujian sekolah. Beberapa unsur dari santapan ini sebenarnya cukup sedap untuk dilahap, seperti bahan-bahan yang gak begitu rumit maupun rasanya yang gak begitu asing karena sudah pernah dicoba sebelumnya. Bahkan beberapa hari sebelumnya, koki-koki pembuat makanan ini sudah memberikan sampel makanan, biar kami gak terkejut waktu jumpa makanan yang sesungguhnya. Belum lagi kalau untuk sajian ini, kalaupun gak sanggup buat ngabisinnya, masih bisa senggol kanan kiri buat bantu "melahap" sisanya. You know what I mean-lah! Yang berat dari ujian sekolah itu sebenarnya adalah kuantitasnya yang besar dan beberapa bagian yang saya bingung buat menjelaskannya. Contoh gampangnya, kami sebagai murid harus mengerti "sejarah" makanan itu, untuk apa coba? Tetapi syukurnya, piring makanan pembuka sekarang sudah bersih! Mungkin sekarang piringnya lagi dicuci buat dipakai makanan selanjutnya.

Dan karena sudah terlanjur diibaratkan dengan makanan, piring itu pun dipakai lagi untuk main course. Main course yang disediakan adalah ujian nasional! Lebih tepatnya, -the dreaded- ujian nasional. Gimana gak ditakuti, kalau kami gak bisa ngabisin main course ini sampai jumlah tertentu, bisa-bisa gak boleh lagi makan di restoran ini, dan baru bisa makan lagi di tahun yang akan datang, serem gak tuh! Belum lagi, kalau namanya main course gak bisa minta dibagi ke orang lain buat dimakan, karena koki-koki bakalan ngelilingin kami waktu makan dan mastiin supaya makanan yang udah mereka buat jatuh ke tangan yang tepat (Eh?). Koki-koki tahun ini juga pada rajin-rajin, biasanya mereka buat lima jenis makanan, tapi tahun ini mereka pengen lebih berkreasi, alhasil ada dua puluh jenis makanan yang dibuat, yah rasanya sih paling juga beda-beda tipis, murid-murid harus diperlakukan dengan adil. Tapi gimanapun juga, sekarang saya lagi persiapkan lambung sama lidah buat ngadapin makanan ini. Sekarang ini udah bisa kedengaran kalau dapurnya udah pada sibuk plating sama garnish makanannya, bentar lagi bakalan disajikan di depan kami. Mungkin sekarang udah bisa mulai baca Allahumma bariklana.

Terus kalau udah nyantap ujian nasional, dapat apa lagi? Pastinya ada dessert alias makanan penutup menunggu. Tapi, makanan penutup ini beda sama yang dua sebelumnya. Kalau yang sebelum-sebelumnya, semua orang wajib memakannya, tapi kalau dessert nggak. Misalnya ada yang udah kenyang makan terus dapat undangan keluar dari restoran, maka dia boleh gak makan dessert-nya. Bahkan semua orang pengen kayak gini dan ngindarin dessert yang udah disiapin. Aneh kan, padahal yang namanya makanan penutup itu biasanya paling enak, kayak kue-kue, es krim, manis-manis. Eits tunggu dulu, karena makanan penutupnya adalah SBMPTN. SBMPTN itu mungkin seperti makanan Perancis yang dibuat sama orang yang punya Michelin star (silahkan telusuri google dan Wikipedia untuk info lebih lanjut). Kebayang nggak bakalan serumit apa makanannya, tambah lagi makanannya belum tentu enak! Jadi, saya, sama seperti kebanyakan orang lainnya, berusaha sekuat tenaga menghindari dessert ini. Maka saya sudah memesan paket lain, yang gak ada makan-makan dessert. Kalau pesanan saya diterima, saya bisa ngelewatin makanan penutupnya dengan aman. Sekarang saya cuma bisa berdoa supaya pesanannya diterima dan para pembaca mungkin bisa ikut mendoakan saya dan teman-teman saya yang lainnya.

Yah, begitulah nasib murid-murid kelas XII SMA sekarang ini. Tapi gitu pun masih ada makanan-makanan lain yang dapat kami santap seandainya kami gak sanggup makan makanan penutupnya, ada yang makanannya lebih gak jelas lagi (baca: SIMAK UI), ada yang lebih mahal (baca: berbagai ujian mandiri), ada yang lebih menantang dan menguntungkan (baca: tes beasiswa).

Sekianlah untuk pagi ini, saya masih gak nyangka ternyata ujiannya bisa disamakan sama makanan. :D

Wassalamualaikum!

Jumat, 15 Februari 2013

Di-ce-ko-ki Budaya

Assalamualaikum!

Kali ini saya masih ada sedikit cerita lagi dari Jepang, semoga anda-anda para pembaca mendapati tulisan ini cukup menarik. Untuk postingan ini saya pengen berbagi sikek mengenai kehidupan orang Jepang, gimana rasanya sebenarnya tinggal sama orang Jepang asli (walaupun cuma lima hari).


Bagaimana kalau kita mulai pengamatan dengan memperhatikan bentuk rumah. Kalau buat yang sering nonton Doraemon, pasti tahu kalau setelah buka pintu depan rumah, setiap orang musti copot sepatu sebelum masuk ke bagian rumah yang berlantai kayu. Hal yang sama juga saya temui waktu tinggal di keluarga angkat. Bedanya, setelah masuk di pintu depan, ada semacam toko foto gitu dulu, berhubung keluarga angkatnya usahanya itu, baru deh jumpa pintu buat masuk ke bagian tempat tinggalnya. Intinya, setiap masuk ke bagian tempat tinggal ini gak boleh pakai sepatu, wajib pakai sandal. Selain itu, buat yang baru pulang biasanya bakalan bilang tadaima sebelum masuk. Artinya sih "Aku pulang!" kira-kira.


Lanjut ke bagian kamar mandi rumah. Selama di sana, semua orang yang saya perhatikan selalu cuma mandi satu kali sehari dan mandinya itu malam-malam sebelum tidur. Satu orang mandi itu bisa makan waktu 30 menit. Bisa lama karena ada dua ritual mandi. Pertama adalah mandi biasa, yaitu sabunan dan sampoan. Ritual kedua adalah berendam di ofuro. Ofuro itu sebenarnya berendam air panas. Kalau di tempat tinggal saya waktu itu, kayaknya airnya dicampur entah apa lagi sampe airnya jadi warna biru gitu. Bedanya ofuro itu adalah di mana air itu tidak diganti setelah dipakai. Jadi airnya berbagi rame-rame. Kesannya memang jijik, cuma itulah tujuannya sebelum berendam kita harus mandi yang bersih dulu baru masuk ke dalam bathtub. Buat yang agak penasaran, ini ada gambarnya:




Jadi, pertama mandi dulu di bagian kanan. Kalau saya mandinya bahkan duduk di kursi. Baru dah masuk ke yang ada di sebelah kiri. Pokoknya kalau biasa di Medan mandi cuma 5-10 menit, di sana makan waktu lebih 30 menit. 
Satu hal unik lagi adalah gimana kamar mandi sama tempat cuci itu nyambung dan biasa dianggap jadi satu kesatuan. Jadi, kalau ada orang mandi, gak boleh masuk ke ruang cuci, karena ruang itu sekaligus jadi tempat ganti baju. Begitulah, pasang bajunya langsung setelah keluar kamar mandi, bukan di kamar tidur.

Karena udah nyinggung sedikit soal kamar tidur, saya lanjut langsung aja ke masalah kamar dan masalah tidur. Syukurnya selama di sana saya sempat nikmatin yang namanya futon dan beralaskan tatami. Futon itu kasur lipat, tiap mau tidur dipasang dulu, pas bangun dilipat balik. Lapisannya ada banyak, dari mulai ada yang tebal semacam kasur, terus ada yang macam jaring-jaring, terus dilapis selimut, baru ada lagi selimut untuk dipakai. Yang pasti hangatlah.
Selain itu, aturan penting untuk hemat listrik harus selalu dipatuhi di kamar tidur. Aturan ini menyangkut lampu, televisi dan AC. Karena lampunya bisa diatur intensitasnya, jadi waktu tidur lampu itu harus segelap mungkin, kalau bisa pun dibuat mati aja. Sedangkan televisi, jelas harus dimatikan kalau udah mau tidur. Yang agak beda itu di AC-nya. AC di sana buat panas bukan buat dingin, jadi AC itu betul-betul sedap dipakai, apalagi kayak semalam waktu lagi musim dingin. Pertama kali datang, ngiranya AC itu boleh aja dihidupin sepanjang malam, eh tiba-tiba pas paginya dimarahin sama ibu angkatnya karena biarin AC nyala semalaman. Ternyata, AC itu cuma boleh dipake kalau memang belum tidur aja. Kalau udah masuk ke kasur, AC harus mati. Harusnya yang kayak gini diterapin juga di Indonesia. Lumayan

Mungkin yang terakhir bisa saya bagiin adalah mengenai yang namanya makan di rumah. Nomor satu yang udah pasti adalah makannya pake sumpit. Mau makan nasi, makan mie, makan daging, ayam, buah, sayur umumnya semua selalu pakai sumpit, sekalipun sendok dan garpu sebenarnya ada juga disediakan. Makanan semuanya dipisah-pisah. Bakalan ada satu mangkok buat nasi, satu mangkok buat ikan dan satu mangkok untik setiap jenis makanan per orangnya. Jadi bisa aja kalau untuk makan satu orang ada lima mangkok disediakan, belum lagi lauk lauk lain yang biasanya dipisah, macem sashimi atau makanan yang sekadar direbus aja di meja makan.
Sebelum mulai makan, bilang itadakimasu dulu. Artinya kayak bilang "Saya akan makan!" tapi sekaligus juga bersyukur buat makanan yang udah disediakan. Oleh karena itulah, kalau makan harus sampai habis tidak bersisa. Hebatnya, hal yang kayak gini udah dipahami bahkan sama anak-anak kecil di sana. Contohnya ada sekali saya ngambil kue kebanyakan dan bersisa satu karena kenyang. Ada salah satu anak kecil yang nengok kue saya yang bersisa terus bilang "Bandel!". Karena kayak gitu, terpaksalah harus dihabiskan. Begitu juga waktu di rumah. Saya dikasih lauk semacam rumput laut dicampur sama kacang. Saya gak suka kacang, jadi saya habisin aja rumput lautnya. Eh tiba-tiba ketahuan sama orang tua angkat saya, alhasil dipaksa buat ngabisin kacangnya juga. Belum berakhir di situ, kalau udah selesai makan, orang Jepang bilang gochisosamadeshita yang sepertinya artinya juga ucapan terima kasih. Ngucapin ini juga bertindak sebagai kode buat ngasih tahu tuan rumah kalau kita udah siap makan.

Iyak, sampai di situ kali ini. Makasih udah sabar baca.


Wassalamualaikum!


Kamis, 07 Februari 2013

Sesendok Tokyo

Assalamua'alaikum!

Seperti yang sudah disebutkan di postingan sebelumnya, kali ini saya ingin sedikit berbagi cerita waktu di Jepang. Sekalipun interval dari postingan sebelumnya udah sangat jauh, mohon dimaklumi. Satu hal lagi. Karena saya bingung mau mulai dari mana, jadi saya buka dengan Tokyo dulu,


Kalau orang yang udah tahu Jepang, terus dengar kata airport, maka yang terpikir pertama kali adalah Narita. Dari dulu mikirnya kalau Narita itu ada di Tokyo, eh rupanya Narita itu macam Bandara Soekarno-Hatta. Kalau Soekarno-Hatta itu ada di Banten yang dekat Jekarta, maka Narita itu ada di Prefektur Chiba yang bersebelahan dengan Tokyo. Seingatnya waktu ngelihat papan di tepi jalan, jarak antara Narita ke Tokyo itu 50 km dan ditempuh kurang lebih antara 30 menit ke satu jam. Tokyo sendiri juga punya airport, namanya Haneda, dan saya sempat juga singgah di situ waktu balik ke Tokyo dari kota lain.


Tokyo itu ya kayak kota-kota negara maju. Buat yang sering nonton anime atau main game Jepang, udah miriplah itu sama situasi Tokyo. Bangunan yang rapat-rapat dan gak ada halamannya, trotoar yang lebar, jalan raya yang lebar, pohon yang tertata rapi, jalan yang bertingkat-tingkat, gedung-gedung yang berisi semacam rumah susun, dsb. Oh iya, macam di Jakarta yang ada Indomaret dan kawan-kawan, Tokyo punya FamilyMart, Lawson sama 7Eleven. Hebatnya, kayak Lawson itu bisa sampe ada di dalam hotel-hotel. Terus, kalau di TV sering ditunjukin gimana orang berbondong-bondong nyebrang jalan, itu memang betul. Bahkan gak cuma orang yang nyebrang, orang yang naik sepeda juga banyak.


Transportasi yang sempat kelihatan yah mobil pribadi, bus umum, kereta api, sepeda. Anehnya, susah kali nyari yang namanya sepeda motor di Tokyo. Yang namanya kereta Honda sama Yamaha yang berserakan di Indonesia tidak bisa ditemukan sebuahpun selama di sana. Kendaraan roda dua bermesin yang kelihatan selama di sana cuma motor gede sama motor delivery. Bicarain soal kereta, kereta api juga ada bermacam-macam, ada yang cepat, ada yang jalurnya bentuknya beda, ada yang standar, dsb.


Apaan lagi ya? Ahh, toilet. Kata orang-orang, toilet di Jepang itu bentuknya aneh. Dan hal itu memang benar. Jadi kalau toilet yang pake closet itu, tombolnya luar biasa banyak. Ini saya cantumkan salah satu contoh:

Bisa dilihat di situ ada tombol buat mengeluarkan semacam suara. Jadi misalnya ada sedang ada urusan dengan sisa pencernaan dan takut bunyinya kedengaran orang, tinggal ada pencetlah tombol itu. Kalau suaranya mau dihentikan tinggal pencet stop yang ada di sebelahnya. Canggihnya lagi ada pengatur volumenya lagi. Terus di sebelahnya ada tombol untuk penyiram air untuk membersihkan bagian tubuh. Tekanan airnya juga bisa diatur, itu di gambar ada tulisan water pressure, sama satu lagi adalah fasilitas deodorizer. Selama di sana gak pernah nyoba, jadi gak tahu betul apa gunanya. Tapi walaupun begitu, kalau dibandingin sama kloset yang saya dapat waktu di host family, kloset yang di gambar masih lebih mending. Waktu di host family saya dapat kloset dengan tombol lebih banyak, alhasil saya terpaksa cari kamar mandi yang lain karena gak ngerti dengan mekanismenya. Satu hal luar biasa lagi mengenai kloset di Jepang adalah, klosetnya bisa buka sendiri kalau ada orang masuk ke kamar mandi. Coba bayangin, sesak BAB tengah malam, masuk kamar mandi, eh klosetnya buka sendiri. 

Selain kloset ini, ada satu jenis kloset lagi. Kloset yang khas Jepang. Makainya jongkok kayak kloset di Indonesia, tetapi kita menghadap ke lubang. Kalau anda search di google mungkin bisa dapat gambarnya. Kesannya sih memang menjijikkan ya, tapi kalau dipikir-pikir sebenarnya lebih bersih, karena gak bakalan ada percikan air kloset kena ke tubuh. Yah, mungkin sebaiknya gak usah terlalu dibahas kali ya. Karena kebetulan lagi bahas toilet, sekalian saya mau komplen soal toilet Narita, lumayan bau dan jorok. 


Hmm, ini ada beberapa foto lagi. Maaf kalau kurang memuaskan, saya gak pengalaman foto jalan-jalan.

Tong sampah di Airport Narita
Jalan yang timpa-timpaan. Paling yang ini ada empat.
Itu aja kali ya dulu cerita mengenai Jepang, sebenarnya masih ada banyak lagi yang bisa diceritain. Saya juga mau minta maaf karena berbagi ceritanya kelamaan. 

Wassalamualaikum!