Assalamualaikum!
Sebelumnya saya udah cerita tuh soal hari kedua, kali ini saya mau lanjutin lagi sampai selesai. Yang belum baca awal hari kedua, ba-caa du-luu saa-naa! Maaf juga udah ditinggalin seminggu - cem banyak yang baca aja.
Setelah makan siang yang menurut saya kurang menyengangkan perut itu (bola nasi + sup + apel), kami digelandang balik ke bus masing-masing sesuai dengan pengelompokan chapter, dalam hal ini chapter akhir saya adalah Kinan. Tujuan kami selanjutnya adalah semacam aula pertemuan gitu, di situ bakalan ada sesi cerita mengenai kejadian tsunami dari korban yang berasal dari Tomioka-machi/Kota Tomioka.
Tempat pertemuannya gak besar-besar kali, tapi seperti seluruh hal yang ada di Jepang, bangunannya punya standar yang bagus. Kami dipersilahkan masuk dan duduk sesuai dengan chapter masing-masing. Acara di situ dibuka dengan presentasi mengenai Tomioka-machi sebelum dihantam bencana. Ibu yang presentasi itu masih agak-agak muda gitu, rambutnya pendek, terus syukurnya bisa Bahasa Inggris. Awal-awal presentasi dia masih senang ngasih penjelasan, tapi mendekati akhir, nadanya berubah bahkan dia hampir nangis gitu waktu teringat kalau rumahnya di Tomioka-machi gak bisa dikunjungi lagi.
Jadi, Tomioka-machi itu kota yang gak parah kena gempa, gak parah juga kena tsunami, tapi parahnya kena radiasi nuklir dari reaktor nuklir Fukushima. Kota itu gak terlalu jauh dari reaktor, alhasil kota harus dievakuasi karena tidak bisa ditinggali lagi. Ibu yang presentasi cerita gimana dulu Tomioka-machi itu terkenal dengan stasiun kereta apinya dan jalan berkilo meter yang sepanjang pinggirannya dihiasi pohon sakura (coba aja search di Google), bahkan ada Festival Bunga Sakura-nya. Kota Tomioka juga punya Festival Api yang udah diselenggara-in selama 800 tahun ditambah lagi stasiun kereta api terindah di Jepang. Sekarang, Tomioka udah ditelantarkan. Ibu itu bisa aja datang ke rumah lamanya, tapi harus dengan pakaian lengkap yang mirip astronot itu - supaya terlindung dari radiasi. Itulah yang buat dia miris pas mendekati bagian akhir presentasinya.
Presentasi dari Ibu berambut pendek ditutup, kemudian acaranya beralih ke bapak-bapak dan ibu-ibu yang jauh lebih tua yang sejak kami datang duduk di tepi ruangan. Beberapa dari bapak-bapak sama ibu-ibu nya bahkan bisa dipanggil kakek-kakek dan nenek-nenek. Bapak-bapak sama ibu-ibu ini juga korban radiasi nuklir dari Kota Tomioka, sekarang mereka tinggal di tempat pengungsian yang didirikan sama Pemerintah Jepang. Karena jumlah peserta banyak, bapak-bapak dan ibu-ibu yang bakalan jadi narasumber itupun dibagi-bagi ke kelompok chapter-chapter. Empat orang narasumber duduk di depan kami dan satu-satu mulai dengan ceritanya masing-masing. Saya masih ada sih catatan lengkap soal pengalaman bapak-bapak sama ibu-ibu itu, cuma kayaknya kalau diceritain satu-satu jadinya betul-betul panjang.
Mungkin saya bisa sampaiin satu-dua cerita yang menurut saya agak luar biasa. Salah seorang bapak-bapak cerita kalau dia itu kerja di perusahaan yang berhubungan dengan supir-menyupir bus. Pas dia pulang, gempa terjadi. Hebatnya, bukannya dia pulang atau sibuk mengkhawatirkan keluarga, dia malah balik ke kantor karena cemas bakalan gak ada yang nyupir di kantor. Terakhir, dia bantuin orang-orang lain evakuasi pakai bus. Selama sharing ini saya ada dapat beberapa informasi mengenai kondisi waktu gempa terjadi bulan Maret 2012 itu:
- Setiap telepon seluler itu punya sistem peringatan gempa. Jadi kalau ada gempa, hape-nya ngasitahu sama pemiliknya.
- Gempa yang terjadi Maret itu udah diprediksi sama Pemerintah Jepang.
- Komunikasi terputus. Kalau mau komunikasi cuma bisa pakai telepon umum. Demikian juga dengan listrik, air, gas - ikut putus - untuk menghindari hal-hal lainnya.
- Masyarakat Tomioka diungsikan ke Kawauchi terus ke Niharu terus ke Koriyama.
Di bagian-bagian akhir sharing itu, ceritanya justru semakin lama semakin serius. Pas dengerin grup lain yang lagi cerita juga, ada aja yang ketawa-ketawa. Grup saya justru pembahasannya lama-lama beralih ke TEPCO (Tokyo Electric Power Company), dan bapak-bapak dan ibu-ibu narasumbernya nyampain keluhannya soal reaktor nuklir. Yah, gitulah. Kurang lebih yang disampaikan setiap narasumbernya sama, hanya pada situasi yang berbeda aja. Sekarang mereka udah tinggal sama-sama di tempat pengungsian.
Waktu ditanya, "Bapak rindu gak tinggal di Tomioka, apa yang paling dirinduin?"
Jawabnya jelas mereka rindu dan yang paling dirindukan itu kebersamaan masyarakatnya. Tapi habis itu bapak itu bilang gak ada gunanya rindu-rindu, sekarang mereka harus bisa kuat untuk tinggal di pengungsian, sekalipun belum tentu bisa pulang lagi. Saya makin kagum gimana mereka udah tua-tua gitu masih kuat dan tetap semangat buat menghadapin bencana yang udah terjadi.
Setelah pembahasan panjang lebar mengenai kejadian di Tomioka-machi, kami dikasih waktu singkat buat belanja di swalayan yang ada di dekat situ. Sebentar aja di situ, kami udah balik ke bus dan dikirim pulang ke hotel British Hills.
Hari itu ditutup dengan kenalan dengan banyak orang baru dan dibodohi permainan-permainan sialan.
Wassalamualaikum!