Minggu, 23 November 2014
Phases of Living Alone
It's my 8th month living abroad. Time does pass unnoticed, that when I realized it, I've lived here as long as I have lived in Bandung.
Living abroad on your own, hmm.. actually it isn't technically on my own, since I get money every month, so yeah, living here isn't really that hard. Manage the money properly, eat properly, get enough rest, pay monthly bills, for most people it shouldn't really be that hard. But the study, well, it's a different story, it's hard.
So, like every single thing out there, there should be something that can be learned from living here. I know that it has only been 7 months and 22 days, but I've experienced something that I'd call phases of living detached from your everything else (family, old friends, home).
One more thing, it's 100 percent personal experience, I don't know how it is with other people.
1. Happy phase
That feeling of joy upon landing in Narita and the excitement of a whole different life. Living in one of the most advanced city in the world with piles of new experiences waiting for me to try them. Not to mention the actual freedom that I'll be having here, where I'll literally be living without anyone telling me what to do by mouth. Who wouldn't be happy? Someone might not be happy, but I was very happy.
The first few weeks after arriving here was bliss. Lessons were easy, lots of free time, great internet speed, something different to do every weekend. Damn, I miss those days!
But like every single aspect of life, it will come to end, sooner or later.
2. Longing phase
This phase isn't really a problem. This is just a completely natural thing to happen. When you don't meet someone who you used to meet everyday, you surely will miss them. But, you know, with all the current technology, a simple swipe on the phone screen, and you can see and keep in touch with all of them.
Some might say that meeting directly is different, it's not something you can do with phones. Well, sweethearts, you can't have everything in this world.
3. Contemplating phase
This is the most tiresome part of all the phases.
After a few months, the happy parts are slowly disappearing. When the lessons start becoming more difficult, when the burdens I have to face slowly appearing (tests for university), then it's time to spend more time in the bathtub and contemplate on life even more! It doesn't specifically have to be bathtub, I just happened to spend a lot of time there. Come on, hot shower is magical.
So a few points that I usually think about: is it a good decision to come here?
After learning that I may not have what it takes to get the university I want, this thought came repeatedly. 'What if I got thrown to some bad universities?'
Next would be: how would I be doing if I hadn't come here?
This one usually came around when I start checking on my friends and see how they're doing. And what they're doing seemed so fun.
The good thing is, it's over. I may still be contemplating on something, but I no longer question my decision to come here.
4. Accepting phase
As you can see, I'm actually writing about it, so you can say I've accepted most of the terms of living here. And upon accepting it, the life here becomes just simple, usual life.
Minggu, 28 September 2014
Excessive Fiction
Lately, I often go out in the middle of the night, about 12 pm or 1 am, just to go to the konbini (convenience store). It's usually for things that I just realized that I ran out of, like a pack of eggs, or toothpaste. Or sometimes a pack of pocky or ice cream just because I want to have something in my mouth other than rice.
The closest konbini from the campus is actually just across the street. But my dorm is on the other side of the campus, so, although it's close, it still takes 5-10 minutes of slow walk.
So what do I do when I walk across the empty campus in the middle of the night?
Daydream (or is it nightdream?) about what should I do if I want to disappear.
The first thing that I would make sure is whether I bring my wallet or not, because sometimes I only took coins and key when I go to konbini. Once I'm certain that I have my wallet, I would keep going with the plan. The next step would be to get rid of my phone (or just turn on the airplane mode). All I know is that people can be traced from their phones, so yeah, phone's out.
Now what should I do?
I always think that a simple white shirt, short celana rumah with holes and a pair of slippers are not the best combination to run away and disappear, so I have to do some shopping first. The best option would be to take the train and head to Shinjuku, since there is a 24 hours open strange store, that sells all sort of stuffs, from your favorite kit kat green tea, to clothes and cameras and even secondhand Louis Vuitton bags. It would be a good start to buy some clothes, bag, et cetera et cetera. By bag, I meant the bag you wear on your back, not the secondhand Louis Vuitton.
After that, it would be best to pack everything properly. Carrying them in plastic bags all over the place is not a good idea for someone who's running away, right? A short visit to the toilet to take care of the items and change clothes, then look for a place to stay for the night. The first thing that came to my mind was always capsule hotels or spending the night in a cafe or restaurant until the train starts to run. But, just when I'm about to go deeper into the run away plan, I've already arrived at the konbini. And the next time I start imagining this again, it usually starts from the wallet check again.
Minggu, 24 Agustus 2014
Sebelum Balik ke Dunia Nyata!
Hampir dua bulan gak buat apa-apa dan gak terasa minggu depan libur musim panas udah habis. Mulai 1 September masuk trimester musim gugur. Nilai trimester ini dipakai buat masuk ke universitas, UWOOOH!!
Jadi saya udah ngapain aja selama satu setengah bulan liburan ini?
Naik Gunung Fuji. Pertama kalinya naik gunung! Gunung Fuji memang mudah buat didaki, jadi yah gampang-gampang aja. Mulainya juga dari ketinggian 2000-an meter gitu, jadi tinggal sedikit aja dakinya, udah sampe. Daki Fuji itu udah begitu umum bagi orang Jepang, sampe-sampe saking ramenya hari itu, 200-300 meter terakhir ke puncak itu ngantri. Literally ngantri. Nungguin orang di depan maju, baru deh bisa maju.
Dakinya rame-rame sama mahasiswa Indonesia lainnya yang di TUFS, totalnya jadi bersebelas kalau gak salah. Naiknya kurang lebih jam 19.30 dan mendaki selama delapan jam. Di puncak ujung-ujungnya cuma bisa gemetaran-gemetaran gak jelas gara-gara suhunya yang di bawah nol derajat. Rencana awalnya mau lihat sunrise, tapi yah apa mau dikata, ternyata berkabut. Apa yang kelihatan cuma langitnya jadi kuning-kuning gitu, terus mataharinya ngintip-ngintip beberapa menit sekali. Setiap mataharinya ngintip, semua orang di puncak langsung, "WOW!" terus diam lagi karena mataharinya gak kelihatan lagi.
Perjalanan turun cuma empat jam, dan kami bersebelas udah misah-misah aja sesuai speed masing-masing (naiknya juga gitu sih). Pemandangan selama turun itu mantap sekali, gak rela rasanya ninggalin tempat itu.
Pulang. Siangnya turun dari Fuji, malamnya terbang pulang. Iya, pulang ke Indonesia, seminggu aja. Terus banyak yang komplen, "Ngapain pulang? Buang-buang duit aja." Memang duitnya, duitnya situ? Duitnya mamak-bapak aku kok kelen yang sibuk. Ups, nggak ada topik jadi kayak gini tulisannya. Well yah daripada ayah sama mama yang kemari, setelah dipikir-pikir memang bagusan kalau saya yang pulang. Biaya lebih minim dan saya juga bisa jumpa lebih banyak orang. Intinya jumpa ini, jumpa itu, makan ini, makan itu, dan seterusnya.
Homestay. Natsuyasumi (libur musim panas) kali ini juga jadi kesempatan buat keluarga baru lagi. Sama satu orang mahasiswa Indonesia lagi, kami sama-sama dapat host family di Hiroshima. Nah, sekali lagi saya harus perjelas seberapa baik dan ramahnya orang Jepang sama orang asing. Homestay di rumah orang Jepang itu berasa tinggal di rumah sendiri. Waktu homestay kemarin sayangnya cuma ada host mother sama adiknya, kami juga segan mau nanya kemana host father-nya. Mereka gak malu-malu ngungkapin pendapat pribadinya sama orang asing kayak kami berdua. Host mother-nya juga gak pake malu-malu kalau lagi cerita-cerita atau waktu lagi main Wii bareng. Ibunya juga betul-betul sabar setiap ngomong sama saya, berhubung bahasa Jepang saya masih di bawah standar. Satu hal luar biasa lagi yang gak kalah penting, host mother-nya gak nanggung-nanggung bayarin semua keperluan kami selama di sana. Entahlah berapa banyak duit yang udah dikeluarin buat kami, sampai-sampai saya jadi segan kalau lagi dibawa makan, berasa nguras duit. Saya homestay selama enam hari, dari 15-20 Agustus. Terus teman saya pulang balik ke Tokyo, saya lanjut jalan-jalan sendiri.
Ke Kansai. Sebelum pulang ke Tokyo, karena udah terlanjur lagi di daerah sana, yah sekalian aja Osaka sama Kyoto disinggahin sebelum pulang. Betul-betul jadi turis, berusaha ngunjungin sebanyak mungkin tempat-tempat wisata di daerah Osaka sama Kyoto, bahkan sampai dibawa jalan-jalan sama teman-teman yang di Osaka ke Kobe.
Waktu di Kyoto, betul-betul sendirian, ke sana ke mari, terus nginap di guesthouse/hostel yang sekamar sepuluh orang bareng-bareng sama orang asing. Gak nyangka bisa ngalamin sendiri yang biasa cuma bisa dilihat di program adventure di televisi.
Sayang liburannya udah mau selesai.
Jadi saya udah ngapain aja selama satu setengah bulan liburan ini?
Naik Gunung Fuji. Pertama kalinya naik gunung! Gunung Fuji memang mudah buat didaki, jadi yah gampang-gampang aja. Mulainya juga dari ketinggian 2000-an meter gitu, jadi tinggal sedikit aja dakinya, udah sampe. Daki Fuji itu udah begitu umum bagi orang Jepang, sampe-sampe saking ramenya hari itu, 200-300 meter terakhir ke puncak itu ngantri. Literally ngantri. Nungguin orang di depan maju, baru deh bisa maju.
Dakinya rame-rame sama mahasiswa Indonesia lainnya yang di TUFS, totalnya jadi bersebelas kalau gak salah. Naiknya kurang lebih jam 19.30 dan mendaki selama delapan jam. Di puncak ujung-ujungnya cuma bisa gemetaran-gemetaran gak jelas gara-gara suhunya yang di bawah nol derajat. Rencana awalnya mau lihat sunrise, tapi yah apa mau dikata, ternyata berkabut. Apa yang kelihatan cuma langitnya jadi kuning-kuning gitu, terus mataharinya ngintip-ngintip beberapa menit sekali. Setiap mataharinya ngintip, semua orang di puncak langsung, "WOW!" terus diam lagi karena mataharinya gak kelihatan lagi.
Perjalanan turun cuma empat jam, dan kami bersebelas udah misah-misah aja sesuai speed masing-masing (naiknya juga gitu sih). Pemandangan selama turun itu mantap sekali, gak rela rasanya ninggalin tempat itu.
the way down |
Homestay. Natsuyasumi (libur musim panas) kali ini juga jadi kesempatan buat keluarga baru lagi. Sama satu orang mahasiswa Indonesia lagi, kami sama-sama dapat host family di Hiroshima. Nah, sekali lagi saya harus perjelas seberapa baik dan ramahnya orang Jepang sama orang asing. Homestay di rumah orang Jepang itu berasa tinggal di rumah sendiri. Waktu homestay kemarin sayangnya cuma ada host mother sama adiknya, kami juga segan mau nanya kemana host father-nya. Mereka gak malu-malu ngungkapin pendapat pribadinya sama orang asing kayak kami berdua. Host mother-nya juga gak pake malu-malu kalau lagi cerita-cerita atau waktu lagi main Wii bareng. Ibunya juga betul-betul sabar setiap ngomong sama saya, berhubung bahasa Jepang saya masih di bawah standar. Satu hal luar biasa lagi yang gak kalah penting, host mother-nya gak nanggung-nanggung bayarin semua keperluan kami selama di sana. Entahlah berapa banyak duit yang udah dikeluarin buat kami, sampai-sampai saya jadi segan kalau lagi dibawa makan, berasa nguras duit. Saya homestay selama enam hari, dari 15-20 Agustus. Terus teman saya pulang balik ke Tokyo, saya lanjut jalan-jalan sendiri.
Ke Kansai. Sebelum pulang ke Tokyo, karena udah terlanjur lagi di daerah sana, yah sekalian aja Osaka sama Kyoto disinggahin sebelum pulang. Betul-betul jadi turis, berusaha ngunjungin sebanyak mungkin tempat-tempat wisata di daerah Osaka sama Kyoto, bahkan sampai dibawa jalan-jalan sama teman-teman yang di Osaka ke Kobe.
Fushimi Inari-taisha |
Sayang liburannya udah mau selesai.
Selasa, 01 Juli 2014
Seperempat Tahun Kemudian
Hari ini tepat 3 bulan setelah sampai di sini. Apa aja yang udah berubah? Tons of things udah berubah, terutama kalau berhubungan dengan uang.
Pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah as in cuci baju, masak, dsb. Waktu pertama-tama jelas excited kalau nanti bakalan mandiri. Mandi sendiri, masak sendiri, bersihin kamar sendiri, biayain diri sendiri (well, yang ini memang seru), cuci baju sendiri, jemur pakaian sendiri, dan jangan lupa, lipat pakaian sendiri. Pas masih awal-awal memang enak, pelajaran sedikit dan waktu luang banyak. Tapi sekarang? Cuma bisa berharap jemuran terbang masuk kamar dan ngelipat sendiri, air dari keran nyala sendiri dan piringnya bersih sendiri. Yah gitulah.
Jalan-jalan. Dulu, waktu masih bulan pertama, dalam seminggu bisa sampe empat-lima kali ninggalin kampus buat pergi entah ke mana. Suka-suka aja pergi kemana-mana gak kenal waktu. Waktu itu, biaya kereta mah gak peduli sama sekali. Hari ini isi kartu 1000 yen (110.000 rupiah), habis, besok isi lagi 1000 yen, habis lagi, beberapa hari kemudian isi lagi 1000 yen.
Kalau sekarang? Senin sampai Jumat cuma bisa ngeram di kamar. Perjalanannya cuma asrama, kelas, konbini (convenience store) seberang kampus, sama kantin. Bahkan buat belanja ke supermarket yang lengkap dan murah suka diundur-undur sampe Sabtu atau Minggu, pas kebetulan lagi di luar, soalnya gak mau bayar biaya kereta ke supermarketnya. Kalau sekarang, diusahain cuma ngisi kartu buat naik kereta 1000 yen per minggu. 2000 yen udah paling parah kalau memang Sabtu dan Minggu dua-duanya jalan-jalan. Buat bisa menghemat, saya rela-relain naik kereta dari stasiun yang jaraknya 15 menit jalan kaki dari kampus. Padahal ada stasiun dekat kampus yang kepeleset juga udah sampe, tapi yah, kan mau ngemat. Karena itu, setiap jalan-jalan sekarang selalu diusahain buat berangkat sepagi mungkin dan pulang semalam mungkin = biar gak rugi.
Makan. Pas masih bulan pertama, makan itu selalu sembarangan milihnya, bukan babi kok, maksudnya sembarangan aja gak lihat-lihat harga. Kalau jalan-jalan, makannya sushi yang gak buat kenyang dan mahal. Kalau makan malam, beli bento dekat stasiun yang kisaran harganya diatas 40.000 rupiah semua.
Terpaksa masak |
Kalau sekarang? Setiap malam harus masak nasi sendiri, soalnya nasi di sini harganya sesuatu sekali. Semangkok yang ukuran besar, yang bagi orang Indonesia tidak besar, bisa hampir 20.000 rupiah. Makan pagi disederhanakan, nasi tambah telur atau nasi goreng atau roti tambah susu segelas. Makan siang hampir selalu di kantin. Nasi selalu bawa sendiri, jadi di kantin biasanya tinggal beli lauk sama sayur yang totalnya biasanya 30.000 rupiah tiap hari. Terus kalau makan malam diusahain masak sendiri, dan kalau malas, beli lauk dari kantin lagi. Intinya sekarang pengeluaran buat makan perhari yang biasanya 1000 yen jadi antara 300-500 yen. Bahkan karena sekarang lagi puasa, dalam sehari kadang gak ngeluarin duit sama sekali karena masak sendiri.
Pelajaran Bahasa (dan pelajaran lain-lain). Menurut saya, ini yang paling kejam di antara semuanya. Jadi bahasa Jepang yang aku bakalan belajar di sini ada tiga tingkat: 初級 (shokyū) = beginner, 中級 (chūkyū) = intermediate, 上級 (jokyū) = advanced. Kata teman yang kuliah di Sastra Jepang waktu di Indonesia, tiga-tiganya butuh waktu 4 tahun di universitas di Indonesia. Tapi di sekolah bahasa ini, tiga-tiganya harus selesai dalam 1 tahun. Dan karena ada tiga trimester di sini, jadi setiap trimester harus selesai satu. Sekarang walaupun belum selesai trimester musim semi, tapi karena pelajaran shokyu udah selesai, langsung diajarinlah chukyu-nya biar hemat waktu. Ini perbandingan sederhana pelajaran pertama antara keduanya,
Shokyū : わたしはルスファンです (Nama saya Luthfan)
Chukyū : 夏目漱石は、小説家として有名が、みなさんと同じように1900年に文部省の国費留学生として、イギリスで3年間勉強した (Silahkan gunakan Google)
Selain itu sekarang juga udah mulai belajar IPA. Ujian akhir juga tinggal seminggu lagi,
Bahan ujian! |
Puasa. Iya, sekarang udah bulan puasa. Ini yang pertama kali gak sama orang tua, udah gitu jauh lagi tempatnya. Walaupun gitu, selamat menjalankan puasa! Selamat berpuasa dari jam 2.40 pagi sampai 7.00 malam! Marhaban ya Ramadhan!
Sabtu, 31 Mei 2014
What Have You Done to May?
Antara kerasa sama gak kerasa, udah mau dua bulan di sini. Selama sebulan terakhir ini, antara postingan terakhir sama postingan yang baru ini, ternyata ada banyak yang udah saya alamin, sampe shock sendiri ngelihat foto di hape kok segini banyaknya ya. So, let the pictures do the talking.
Foto-foto yang di atas ini waktu Golden Week. Jadi kalau di Jepang itu, dari tanggal 3 Mei sampai 6 Mei itu hari libur. Karena libur terus gitu, disebutnya Golden Week. Kalau udah Golden Week, kemana-mana pasti rame. Yaiyalah ya, hari Sabtu-Minggu biasa aja juga rame.
Waktu Golden Week ini saya sempat ke beberapa tempat. Pertama ke Ueno Zoo (上野動物園). Kebetulan hari itu lagi Midori no Hi (Green Day), jadi kalau masuk kebun binatang digratisin. Kebun binatangnya bagus, ada monorail-nya segala di dalamnya. Setelah dari kebun binatang ini, malamnya kami ke Kurayami Matsuri/Festival in the Darkness yang diadain di Okunitama Shrine (dekat dari kampus). Biarpun namanya 'in the Darkness', festival-nya gak ada dark-dark-nya sama sekali. Ini festivalnya kurang lebih kayak yang ada di komik-komik itu. Di sepanjang jalan masuk ke kuilnya, ada banyak stand-stand gitu. Takoyaki, okonomiyaki, yakisoba, gula kapas, jualan yoyo isi air, jualan topeng, yakitori, sampe rumah hantu juga ada. Udah rumah hantunya gak gitu seram, mahal lagi.
Terus ini kali ya. Tanggal 15 Mei ada acara Welcome Party dari pihak kampus. Salah satu kegiatan acaranya itu perkenalan setiap mahasiswa baru. Kalau negara lain itukan, biasanya kalau gak 3 orang, 4 orang. Tapikan kalau dari Indonesia tahun ini ada 16 orang. Jadi waktu perkenalan itu, kayak beda sendiri gitu. Negara lain cuma makan 2 atau 3 menit buat perkenalan, waktu Indonesia perkenalannya gak selesai-selesai. Biar cepat, perkenalannya juga dibuat pendek. Negara lain ngomongnya, "Watashi wa _(negara)__ kara kita, _(nama)_ desu. Dozo yoroshiku onegaishimasu!" Berhubung Indonesia rame, kenalannya jadi, "_(nama)_ desu. Dozo yoroshiku!"
Kami juga sempat nampil tari Saman seadanya. Banyak salahnya padahal, tapi tiap selesai satu rangkaian gerakan, semua yang lihat tepuk tangan. Waktu selesai, jadi terharu sendiri bisa pamerin budaya Indonesia ke orang-orang luar. Bahkan ada mahasiswa Indonesia yang ngambil S2, sampai nangis setelah kami selesai Saman. Alhamdulillah yang lihat juga pada kagum, bulak-balik bilang, "SUBARASHII!"dan sebagainya.
Well, itu dua minggu pertama Mei. Kemana sisanya? Sisanya dipake buat belajar.
Beberapa minggu yang lalu, semua mahasiswa pre-undergraduate dibawa jalan-jalan ke Fuchu Folk Museum, mengenai kehidupan jaman dulu di Jepang gitu. Tapi, karena guidenya full ngomong pake bahasa Jepang, yah gak gitu dapat apa-apa. Tsugi!
Waktu Golden Week ini saya sempat ke beberapa tempat. Pertama ke Ueno Zoo (上野動物園). Kebetulan hari itu lagi Midori no Hi (Green Day), jadi kalau masuk kebun binatang digratisin. Kebun binatangnya bagus, ada monorail-nya segala di dalamnya. Setelah dari kebun binatang ini, malamnya kami ke Kurayami Matsuri/Festival in the Darkness yang diadain di Okunitama Shrine (dekat dari kampus). Biarpun namanya 'in the Darkness', festival-nya gak ada dark-dark-nya sama sekali. Ini festivalnya kurang lebih kayak yang ada di komik-komik itu. Di sepanjang jalan masuk ke kuilnya, ada banyak stand-stand gitu. Takoyaki, okonomiyaki, yakisoba, gula kapas, jualan yoyo isi air, jualan topeng, yakitori, sampe rumah hantu juga ada. Udah rumah hantunya gak gitu seram, mahal lagi.
Besoknya, saya juga ke Tokyo Institute of Technology (Tokodai). Ada kompetisi Futsal yang diadain sama mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kuliah di Tokodai. Gak, saya gak ikut futsalnya. Habis dari Tokodai itu, siangnya ke Odaiba. Odaiba itu pulau buatan yang ada di Tokyo Bay. Kalau dihitung jaraknya dari TUFS, Odaiba itu jauh kali. Pulang pergi aja bisa kenak 1500 yen (lebih kurang 150 ribu rupiah). Jadi kan buat ke Odaiba itu nyeberang laut sedikit, dan hari itu saya naiknya kereta. Kirain waktu di dalam kereta nanti bisa ngelihat air di sekitarnya, ternyata nggak, keretanya lewat terowongan. Kecewa. Okesip, lanjut.
Odaiba itu penuh dengan mall. Mall yang kalau dimasukin, langsung terasa pulang ke mall-nya Indonesia. Ada beberapa landmark terkenal di Odaiba, ada Gundam raksasa yang kalau malam lampunya nyala dan kepalanya geleng-geleng. Terus ada juga Patung Liberty versi kecil.
Ini mahasiswa Indonesia aja. |
Ini foto kelas. Saya dapat kelas E. |
Kami juga sempat nampil tari Saman seadanya. Banyak salahnya padahal, tapi tiap selesai satu rangkaian gerakan, semua yang lihat tepuk tangan. Waktu selesai, jadi terharu sendiri bisa pamerin budaya Indonesia ke orang-orang luar. Bahkan ada mahasiswa Indonesia yang ngambil S2, sampai nangis setelah kami selesai Saman. Alhamdulillah yang lihat juga pada kagum, bulak-balik bilang, "SUBARASHII!"dan sebagainya.
Well, itu dua minggu pertama Mei. Kemana sisanya? Sisanya dipake buat belajar.
Kamis, 24 April 2014
Kenapa Monbukagakusho?
Hai kalian yang baca, makasih ya udah baca. Jangan langsung ditutup tab-nya, kali ini informasinya InsyaAllah bagus kok. Sebagai penerima beasiswa Monbukagakusho, saya betul-betul berharap kalau tahun ini juga ada banyak orang yang mau daftar beasiswa Monbukagkusho. Makin banyak yang apply, makin banyak juga nanti yang bisa lulus ke Jepang, kan buat bangga kalau dari Indonesia banyak yang dapat. Kayak tahun ini misalnya. Biasanya penerima beasiswa S1 itu jumlahnya gak lebih dari 10. Tapi tahun ini, untuk S1-nya ada 16 orang di Tokyo dan 12 orang di Osaka. Bukan nyombong sih, pamer aja.
Jadi, kenapa harus ikut beasiswa Monbukagakusho?
Bebas Biaya
Bebas biaya? Biaya pendaftaran? Bukan, gratis kuliah maksudnya. Selama kuliah di sini, biaya kuliahan dan pendidikan di sekolah bahasa (selama satu tahun pertama) bakalan ditanggung sama Kementerian Pendidikan Jepang/Monbukagakusho. Kalo kuliah di Indonesia kan masih dibayarin ayah-ibu, kalau di sini gak perlu ngeberatin orang tua buat mikirin biaya kuliah lagi. Orang tua gak perlu lagi buang-buang tenaga mikirin, "Aduh! Uang kuliah anakku udah harus dibayar bulan depan!" Gak mau apa buat orang tua lebih tenang hidupnya? Mau kan?
Di Jepang
Sebenarnya mau kuliah di mana aja, itu semua tergantung sama orangnya. Tapi, kalau kuliah di Jepang, paling nggak udah terjamin dapat pendidikan yang lebih berkualitas. Universitas di Indonesia masih berupaya jadi world-class university, tapi kalo universitas di sini rata-rata udah world-class.
Berada di Jepang juga jadi kesempatan buat belajar keberagaman budaya dunia. Kalau waktu SMA gak sempat ikut pertukaran pelajar, selama kuliah di sini bisa dapat kesempatan bagus buat berkomunikasi dengan mahasiswa dari berbagai negara. Kayak sekarang aja di TUFS, saya udah jumpa banyak mahasiswa dari Nepal, Mongolia, Thailand, Brazil, Malaysia, India, Bulgaria, Peru dan banyak negara lain. Kapan lagi coba bisa merasakan yang beginian?
Bahasa Baru
Ini juga jadi salah satu keluarbiasaan buat kuliah di Jepang. Kalau dapat kuliahnya di Singapura atau Malaysia atau Amerika atau Inggris, ujung-ujungnya juga masih pakai bahasa Inggris kan? Tapi kalau ke Jepang, gimanapun ceritanya harus bisa bahasa Jepang buat kuliah. Nah, di zaman globalisasi ini, eugh serasa ngetik tugas PKn, di zaman globalisasi ini, bahasa punya peran penting. Makin banyak bahasa yang kita kuasai jelas jadi lebih bagus. Ini juga salah satu alasan utama saya pas ditanyain kenapa ikut Monbukagakusho waktu tes wawancara.
Dapat Uang Saku
Mahasiwa yang dapat beasiswa dibayar untuk kuliah dengan baik. Pemerintah Jepang ngasih duit setiap bulannya sama penerima beasiswa Monbukagakusho yang jumlahnya cukup, 120.000 yen per bulannya. Asal gak makan sushi setiap pagi, siang dan malam, dan gak ke Shibuya tiap hari, duitnya pasti cukup kok.
Tanpa Ikatan
Cuma karena dapat beasiswa ini, gak berarti penerima beasiswa nanti harus kerja untuk pemerintah Jepang. Gak ada ikatan sama sekali. Mau kerja di Jepang, mau pulang, mau gak kerja, mau tidur, bebas kok.
Nah, kalau sekarang udah tertarik dan mau tahu detil-detil soal pendaftaran, bisa cek ke sini dan kalau rajin udah bisa mulai coba-coba ngerjain soal-soal tesnya:
http://www.id.emb-japan.go.jp/sch.html
Kalau belum ngerasa yakin, buka aja juga link barusan, mana tahu jadi lebih jelas. Bisa cek juga post-post saya sebelumnya atau blog-blog penerima beasiswa lainnya yang link-nya ada di sini:
http://haisayaifan.blogspot.jp/search/label/Monbukagakusho
http://zahr-atul.blogspot.jp/2014/04/fellow-mext-scholars-blogs.html
Jadi, kenapa harus ikut beasiswa Monbukagakusho?
Bebas Biaya
Bebas biaya? Biaya pendaftaran? Bukan, gratis kuliah maksudnya. Selama kuliah di sini, biaya kuliahan dan pendidikan di sekolah bahasa (selama satu tahun pertama) bakalan ditanggung sama Kementerian Pendidikan Jepang/Monbukagakusho. Kalo kuliah di Indonesia kan masih dibayarin ayah-ibu, kalau di sini gak perlu ngeberatin orang tua buat mikirin biaya kuliah lagi. Orang tua gak perlu lagi buang-buang tenaga mikirin, "Aduh! Uang kuliah anakku udah harus dibayar bulan depan!" Gak mau apa buat orang tua lebih tenang hidupnya? Mau kan?
Di Jepang
Sebenarnya mau kuliah di mana aja, itu semua tergantung sama orangnya. Tapi, kalau kuliah di Jepang, paling nggak udah terjamin dapat pendidikan yang lebih berkualitas. Universitas di Indonesia masih berupaya jadi world-class university, tapi kalo universitas di sini rata-rata udah world-class.
Berada di Jepang juga jadi kesempatan buat belajar keberagaman budaya dunia. Kalau waktu SMA gak sempat ikut pertukaran pelajar, selama kuliah di sini bisa dapat kesempatan bagus buat berkomunikasi dengan mahasiswa dari berbagai negara. Kayak sekarang aja di TUFS, saya udah jumpa banyak mahasiswa dari Nepal, Mongolia, Thailand, Brazil, Malaysia, India, Bulgaria, Peru dan banyak negara lain. Kapan lagi coba bisa merasakan yang beginian?
Bahasa Baru
Ini juga jadi salah satu keluarbiasaan buat kuliah di Jepang. Kalau dapat kuliahnya di Singapura atau Malaysia atau Amerika atau Inggris, ujung-ujungnya juga masih pakai bahasa Inggris kan? Tapi kalau ke Jepang, gimanapun ceritanya harus bisa bahasa Jepang buat kuliah. Nah, di zaman globalisasi ini, eugh serasa ngetik tugas PKn, di zaman globalisasi ini, bahasa punya peran penting. Makin banyak bahasa yang kita kuasai jelas jadi lebih bagus. Ini juga salah satu alasan utama saya pas ditanyain kenapa ikut Monbukagakusho waktu tes wawancara.
Dapat Uang Saku
Mahasiwa yang dapat beasiswa dibayar untuk kuliah dengan baik. Pemerintah Jepang ngasih duit setiap bulannya sama penerima beasiswa Monbukagakusho yang jumlahnya cukup, 120.000 yen per bulannya. Asal gak makan sushi setiap pagi, siang dan malam, dan gak ke Shibuya tiap hari, duitnya pasti cukup kok.
Tanpa Ikatan
Cuma karena dapat beasiswa ini, gak berarti penerima beasiswa nanti harus kerja untuk pemerintah Jepang. Gak ada ikatan sama sekali. Mau kerja di Jepang, mau pulang, mau gak kerja, mau tidur, bebas kok.
Nah, kalau sekarang udah tertarik dan mau tahu detil-detil soal pendaftaran, bisa cek ke sini dan kalau rajin udah bisa mulai coba-coba ngerjain soal-soal tesnya:
http://www.id.emb-japan.go.jp/sch.html
Kalau belum ngerasa yakin, buka aja juga link barusan, mana tahu jadi lebih jelas. Bisa cek juga post-post saya sebelumnya atau blog-blog penerima beasiswa lainnya yang link-nya ada di sini:
http://haisayaifan.blogspot.jp/search/label/Monbukagakusho
http://zahr-atul.blogspot.jp/2014/04/fellow-mext-scholars-blogs.html
Jumat, 18 April 2014
Tokyo University of Foreign Studies: Dorm Room
Kali ini saya mau ngenalin tempat tinggal saya di Jepang selama satu tahun ke depan. Mungkin sebelumnya udah pernah saya jelasin, tapi saya jelasin ajalah lagi. Saya tinggal di universitas gitu, namanya Tokyo University of Foreign Studies (TUFS). Tapi saya belajarnya bukan di kuliah kampusnya, saya belajarnya di Japanese Language Center yang diperuntukkan buat mahasiswa-mahasiswa internasional. Saya tinggalnya di areal kampus juga, di International Hall Residences 1. Setelah masuk ke dalam kamar, kelihatannya kayak gini,
Dan terakhir, di setiap kamar ada balkonnya. Biasanya dipakai buat jemur pakaian. Tapi kalau malas jemur baju juga gak papa sih, soalnya ada pengering baju pake koin yang harganya 100 yen buat 30 menit ngeringin baju. Mesin cucinya juga mesin cuci pake koin.
Rapi kan? Rapi kan? Rapi lah ya. Fasilitas di tiap kamar itu betul-betul lengkap, dari mulai mini kitchen beserta kulkas.
Foto sebelah kiri itu dua minggu lalu, yang sebelah kanannya barusan aja. Meja sama lemarinya juga banyak dikasih, tapi lemarinya gak ada pintunya, jadi terbuka gitu semuanya. Di samping rak buku itu ada papan buat nempel-nempel.
Di bawah saya jadiin tempat nyimpan baju |
Kamar mandinya juga gak kalah mantap, terus di tiap kamar dikasih heater buat air panas. Jadi kalau mau mandi pakai air panas, nyalain heater dulu beberapa jam, nanti baru dipake. Menurut petuah salah satu senior, karena listrik di Jepang lebih mahal kalau siang-siang, kami disuruh ngidupin heater dari jam 11 malam sampe 7 pagi (kalau mau), dua hari atau tiga hari sekali. Listrik di sini memang kejam, kemarin tagihan listrik buat April baru datang dan saya kena 2.000 yen lebih buat listrik dua minggu.
Ini kasurnya, di atasnya ada AC-nya |
Dan terakhir, di setiap kamar ada balkonnya. Biasanya dipakai buat jemur pakaian. Tapi kalau malas jemur baju juga gak papa sih, soalnya ada pengering baju pake koin yang harganya 100 yen buat 30 menit ngeringin baju. Mesin cucinya juga mesin cuci pake koin.
Jumat, 11 April 2014
Mutarin Tokyo
Pertama saya harus perjelas kalau foto di atas bukan hasil rip off dari Google Images. Itu foto dari kamera hape saya. Oke sip!
Selasa yang lalu, pelajaran udah dimulai, yah tapi apa serunya juga cerita-cerita soal pelajaran. Eh, seru juga sih kalau dipikir-pikir, tapi entar-entar aja ya saya ceritain soal yang begituan. Saya mau kalian yang baca jadi geregetan aja dulu.
Nah, salah satu agenda minggu lalu saya itu adalah jalan-jalan yang literally ke mana kaki membawa (dan ke mana kereta membawa). Kurang lebih jam 9 pagi hari Minggu yang lalu, bel kamar saya bunyi dan ternyata itu salah satu teman Indonesia. Pas mukanya kelihatan di balik pintu, dia yang udah berpakaian bagus langsung ngomong, "Ayo! Jadi kan?" Aku yang masih baru aja bangkit dari kasur cuma bisa bilang, "Eh, udah jam 9?" Dia ngangguk dan aku langsung kayak, "Aaahh jam 9 kok cepat kali?" Masih dalam kondisi ngucek-ngucek mata.
Tanpa mandi, saya langsung ganti pakaian, lipat futon sembarangan, solat shubuh (iya solat shubuh jam 9 pagi), neguk segelas air keran terus langsung keluar kamar dengan ngunyah sepotong roti tawar polos tanpa apa-apa. Keluar dari asrama, tiga orang Indonesia lain udah nungguin saya. Kami jalan ke stasiun terdekat dari kampus. Sampai di stasiun sekalipun, kami belum tahu rencananya mau jalan ke mana. Baru akhirnya pas udah duduk di dalam kereta, setelah dikasih beberapa pilihan, kami mutusin buat naik kereta sampai Stasiun Tokyo.
Saya pernah ke Stasiun Tokyo sebelumnya, tapi waktu itu, kami digiring kayak ternak dari satu tempat ke tempat lain, jadi saya buta arah waktu sampai di stasiunnya. Di stasiun ini juga dua tahun lalu, saya kehilangan name tag Kizuna yang diketik dengan bagus dan dilaminating, yang akhirnya digantiin sama name tag yang ditulis tangan. Setelah keluar dari kereta, panduan yang kami ikuti cuma tulisan 'Central Exit' yang warnanya kuning dan tertulis besar. Sampai di exit-nya, saya cuma bisa shock pas nge-tap train pass buat bayar keretanya. It cost more than 400 yen to get there. TAKAI DESU NE!
Betul-betul tanpa arah, kami keluar dari Stasiun Tokyo dan karena gak tahu mau kemana, kami cuma bisa ngikutin kemana crowd yang paling ramai berjalan. Untungnya tiba-tiba kami ketemu papan penunjuk jalan yang tulisannya: Tokyo Imperial Palace, 450 m. Yah, langsung aja kami telusuri jalannya. Kami jumpa Tokyo Imperial Palace-nya, tapi bukan istananya, cuma Garden-nya. Jadi kalau mau ke dalam istananya itu kayaknya harus ngantri gitu, dan antriannya itu sesuatu sekali.
Di bawah warna hijau ada warna-warni kan? Itu orang |
Dari Tokyo Tower, setelah tanya orang sana-sini, kami ke Ginza lewat subway. Sampai sekarang saya masih gak nyangka bisa bilang, "Iya, minggu lalu aku jalan-jalan ke Ginza," Yah cuma jalan-jalan aja lah, mana sanggup belanja di situ. Belanja di convenience store aja masih hitung-hitung, apalagi belanja di Ginza. Perjalanan hari itu akhirnya ditutup dengan kunjungan ke Shibuya. Jadi, Shibuya itu ada di jalur pulang, jadi sekalian aja disinggahin. Kapan-kapan lagi coba ke Tokyo Tower, Ginza sama Shibuya? Apalagi kalau udah mulai belajar dan dikasih banyak tugas, ninggalin kampus aja mungkin udah malas. Tapi sebenarnya hari ini rencananya mau ke Tokyo Tower lagi sih, soalnya waktu itu kamera digital ketinggalan di sana. Yaaah, gitulah.
Jumat, 04 April 2014
First Fuchu "Bolang" Attempt
Halo kalian yang baca ini! Alhamdulillah saya sekarang udah di Jepang dan sebenarnya ada bejibun hal yang mau saya ceritain tapi yang siang ini aja dulu kali ya.
Sore tadi betul-betul bodoh. Jadi orientasi TUFS baru aja selesai. Orientasi yang sebagian besarnya cuma Hashimoto-san ngebacain ulang handouts yang udah dibagiin satu per satu ke setiap murid. Seharusnya ada seorang lagi yang nemanin Hashimoto-san buat nerjemahin, tapi orang itu berhalangan hadir. Tapi, bagus juga sebenarnya dibacain, semua murid jadi terpaksa ngebaca kertasnya dari awal sampai habis. Orientasi itu selesai kira-kira jam setengah lima sore. Beberapa dari mahasiswa Indonesia habis itu ngumpul gitu ngebahas buat jalan-jalan, yang ujung-ujungnya berakhir jadi wacana aja. Saya sendiri, ngelihat waktu kosong banyak akhirnya mutusin buat pergi aja sendiri ke toko yang mau saya datangin. Keputusan untuk ber-bolang pertama kalinya.
Kira-kira 25 menit akhirnya saya sampai di daerah yang namanya Musashi-sakai, cuma sekali naik kereta aja, jadi gak susah kalo dari TUFS. Di luar pintu utaranya stasiun itu, ada jalan kecil gitu yang kiri-kanannya penuh toko-toko. Kalo ke daerah Tokyo yang kayak Musashi-sakai ini bisa kelihatan kali bedanya Jepang sama Indonesia. Bukan beda yang udah jelas kayak teknologi atau transportasi ya. Tapi adil dalam pemerataan. Bayangin aja kalo Tokyo itu Medan, Musashi-sakai dan daerah sekitarnya itu kayak Tembung-nya Medan (Tembung itu jauh kali dari pusat kota Medan). Tapi biarpun daerah ini kayak Tembung, sarana transportasi, jalan-jalan, dan fasilitas publik dibuat sebaik mungkin dan gak kalah dari daerah sibuk kayak Shinjuku yang terkenal kali itu. Ya gitulah, cuma sekedar side note aja.
Kira-kira 200 meter masuk ke jalan kecil tadi itu, akhirnya saya jumpa toko yang saya mau datangin. Toko serba 100 yen. Sayangnya toko-nya gak gitu besar kayak Daiso, jadi barang belanjaannya juga gak lengkap. Sempat ada kayak bingung gitu pas mau beli sapu. Pas mau bayar sapu-nya, si mas kasirnya tiba-tiba ngomong pake bahasa Jepang yang jelas saya gak ngerti sama sekalilah. Satu-satunya kata yang saya ngerti dari kalimat dia yang kurang lebih 15 kata itu adalah kata setto. Rupanya sapu-nya itu satu set sama serokannya dan harus beli dua-duanya jadi 200 yen. Saya mikirnya gak butuh serokan jadi saya ganti sapunya sama sapu yang bukan set, tapi sapu aja sendiri. Sebenarnya bukan gak butuh serokan sih, sebenarnya lebih ke pelit aja gak mau buang 100 yen buat serokan. Eh, pas mau bayar di kasir, tiba-tiba dia bilang kalo sapu yang single yang saya beli itu harganya udah 200 yen. Udah dipencetnya pulak di mesin kasir, mana mungkin lagi aku batalin. Kalau pun mau batalin, gak tahu juga bilangnya apa. Ya udah terakhir ikhlas aja sapunya yang 200 yen itu.
Selesai belanja, saya balik ke stasiun. Setahu saya, saya harus naik kereta yang berlawanan arah dengan arah Shinjuku buat balik ke daerah kampus. Dengan pede-nya saya masuk ke stasiun, nge-tap train pass ke mesin terus naik ke platform Chuo Line yang tujuan Takao. Cuma ada dua tangga di situ, yang satu Shinjuku, yang satu lagi Takao. Karena bukan Shinjuku, yah berarti tujuannya Takao-lah ya kan? Sampai di platform-nya saya ngebaca kalo pemberhentian selanjutnya kereta itu Higashi-Koganei. Padahal seingat saya seharusnya ke Shin-Koganei, bukan Higashi-Koganei. Tapi yah, kan gak ada platform lain selain yang dua ini, jadi mungkin ada nya itu jalannya buat ke Shin-Koganei. Pas keretanya datang, dengan polosnya saya masuk. Setengah perjalanan, saya sadar kalo itu tujuannya salah (karena pemberhentian selanjutnya juga bukan tujuan yang saya harus datangin), tapi saya masih gak tahu gimana caranya seharusnya pulang. Saya langsung turun pas keretanya berhenti dan ngambil kereta berlawanan buat balik lagi ke Musashi-sakai. Entah kenapa saya jadi senang gitu pas tahu kalau udah kesasar.
Pas turun tangga di Musashi-sakai saya sadar kalau ternyata saya ada di jalur kereta yang salah. Jadi ada dua jalur yang lewat stasiun itu dan saya seharusnya ngambil yang satu lagi. Udah senanglah ceritanya karena udah tahu harus gimana buat pulang. Saya langsung cepat-cepat buat ke arah pulang masih sambil menjinjing sapu dan brush kamar mandi dan lain-lain. Waktu nge-tap train pass nya lagi, tiba-tiba mesinnya bilang error dan nyuruh buat nyari security-nya gitu. Saya langsung, "Loh?" Terus saya cobain lagi train pass di mesin yang lain dan masih error juga. Untung aja pos security-nya ada pas sebelahan sama mesin-nya dan untungnya lagi mas-mas yang jaga posnya bisa bahasa Inggris. Dia ngecek kartu saya buat lihat jalur yang udah saya naikin dan terus nyuruh saya buat lewat aja, gak perlu dipakai kartunya. Setelah itu kami berdua, yang dibantu dan membantu, sama-sama bilang, "Arigato gozaimasu." Nah setelah lewat dari pos itu ada mesin pembaca lainnya lagi yang harus pake kartu. Saya ngiranya gak perlu juga pake kartu-kartuan, jadi langsung asal lewat aja. Terus waktu lewat tiba-tiba mesinnya bunyi, "Beep beep!" dan muncul sepasang penghalang hijau nabrak ke badan saya. Gak sakit sih, tapi malunya....
Saya cepat-cepat mundur dan pakai train pass nya ke mesin, pokoknya langsung full tourist mode-lah, yang ceritanya gak ngerti apa-apa soal perkeretaan di Jepang. Saya bahkan gak ngelihat apa ada orang di sekeliling yang ngelihatin dan nertawain saya. Cepat-cepat saya langsung naik ke kereta dan balik ke kampus.
Sore tadi betul-betul bodoh. Jadi orientasi TUFS baru aja selesai. Orientasi yang sebagian besarnya cuma Hashimoto-san ngebacain ulang handouts yang udah dibagiin satu per satu ke setiap murid. Seharusnya ada seorang lagi yang nemanin Hashimoto-san buat nerjemahin, tapi orang itu berhalangan hadir. Tapi, bagus juga sebenarnya dibacain, semua murid jadi terpaksa ngebaca kertasnya dari awal sampai habis. Orientasi itu selesai kira-kira jam setengah lima sore. Beberapa dari mahasiswa Indonesia habis itu ngumpul gitu ngebahas buat jalan-jalan, yang ujung-ujungnya berakhir jadi wacana aja. Saya sendiri, ngelihat waktu kosong banyak akhirnya mutusin buat pergi aja sendiri ke toko yang mau saya datangin. Keputusan untuk ber-bolang pertama kalinya.
Kira-kira 25 menit akhirnya saya sampai di daerah yang namanya Musashi-sakai, cuma sekali naik kereta aja, jadi gak susah kalo dari TUFS. Di luar pintu utaranya stasiun itu, ada jalan kecil gitu yang kiri-kanannya penuh toko-toko. Kalo ke daerah Tokyo yang kayak Musashi-sakai ini bisa kelihatan kali bedanya Jepang sama Indonesia. Bukan beda yang udah jelas kayak teknologi atau transportasi ya. Tapi adil dalam pemerataan. Bayangin aja kalo Tokyo itu Medan, Musashi-sakai dan daerah sekitarnya itu kayak Tembung-nya Medan (Tembung itu jauh kali dari pusat kota Medan). Tapi biarpun daerah ini kayak Tembung, sarana transportasi, jalan-jalan, dan fasilitas publik dibuat sebaik mungkin dan gak kalah dari daerah sibuk kayak Shinjuku yang terkenal kali itu. Ya gitulah, cuma sekedar side note aja.
Ini stasiunnya Musashi-sakai. |
Selesai belanja, saya balik ke stasiun. Setahu saya, saya harus naik kereta yang berlawanan arah dengan arah Shinjuku buat balik ke daerah kampus. Dengan pede-nya saya masuk ke stasiun, nge-tap train pass ke mesin terus naik ke platform Chuo Line yang tujuan Takao. Cuma ada dua tangga di situ, yang satu Shinjuku, yang satu lagi Takao. Karena bukan Shinjuku, yah berarti tujuannya Takao-lah ya kan? Sampai di platform-nya saya ngebaca kalo pemberhentian selanjutnya kereta itu Higashi-Koganei. Padahal seingat saya seharusnya ke Shin-Koganei, bukan Higashi-Koganei. Tapi yah, kan gak ada platform lain selain yang dua ini, jadi mungkin ada nya itu jalannya buat ke Shin-Koganei. Pas keretanya datang, dengan polosnya saya masuk. Setengah perjalanan, saya sadar kalo itu tujuannya salah (karena pemberhentian selanjutnya juga bukan tujuan yang saya harus datangin), tapi saya masih gak tahu gimana caranya seharusnya pulang. Saya langsung turun pas keretanya berhenti dan ngambil kereta berlawanan buat balik lagi ke Musashi-sakai. Entah kenapa saya jadi senang gitu pas tahu kalau udah kesasar.
Ini maksudnya mesin tempat nge-tap train pass |
Saya cepat-cepat mundur dan pakai train pass nya ke mesin, pokoknya langsung full tourist mode-lah, yang ceritanya gak ngerti apa-apa soal perkeretaan di Jepang. Saya bahkan gak ngelihat apa ada orang di sekeliling yang ngelihatin dan nertawain saya. Cepat-cepat saya langsung naik ke kereta dan balik ke kampus.
Jumat, 07 Maret 2014
Just Right Around the Corner
The picture has nothing to do with the rest of this. It's not mine, I took it from deviantART.
In conclusion, there will be no more talks about this subject until I have arrived there. I even try not to mention the place. If you're confused about what the word 'there' refers to, then you'll have to learn Bahasa (if you haven't) and read my previous posts.
I just talk about what's going on lately. My life for the past few months has been extremely not productive. It was a series of skipping classes. I'm not sure if I have missed physics 6 times or 7 times, but in either case it isn't a good number. There was also the electric circuit subject that I've missed (on purpose) for 3 or 4 times, yet my friend still asks to see my homework.
I've also used my time poorly lately. Slept late on daily basis, where 00.00 a.m. is considered very fast. Spent approximately 6 hours or more everyday to watch TV series or movies or dramas or play games. Every time I watched an episode, then I'll be downloading the next episode on the same time. Then when the episode I was watching finished, then I could just continue to the next episode. Anyway, I'm currently into Brooklyn Nine-Nine.
[Those who read this may find that this particular post is trash, then I advise you to stop reading and close the tab or use the tab for more useful websites]
Fortunately there is one useful thing that I've been doing for the last few months. At least I'm not totally useless, I've been participating in the campus' president election committee. The committee has been a great way to meet a lot of people from other faculties, including seniors that I would never know if I hadn't joined the committee. I'm in the campaign division of the committee and until last Tuesday, I had to stay at the campus until 11 pm almost every night for candidates hearing. Not every night actually, I was absent from last week's Thursday until Monday.
The cause of absence was attending the Java Jazz Festival. Uuuu yeah! What a great time, though I won't tell anything about it. Actually people can watch it via television. There was this strange channel that showed several performances. But still, nothing beats watching live concert huh? So here's a small part of Mind Trick directly from Jamie Cullum himself. BAHAHAHAHAHA.
Selasa, 25 Februari 2014
Sudah Dekat!
The date is getting closer! Gak terasa udah tinggal sebulan lebih aja di sini. Seperti euforia-euforia lainnya, bagi saya sendiri, semangat berangkat itu berbanding terbalik dengan dekatnya tanggal. Misalnya aja setahun lalu waktu lulus SNMPTN. Nah itu selama baru-baru lulus bawaannya pengen cepat-cepat aja ke Bandung. Eh, pas besoknya udah berangkat, bawaannya pengen tinggal aja terus di Medan.
Sama juga dengan kejadian sekarang. Waktu masih bulan-bulan Desember, waktu baru dapat pengumuman, ngarepnya berangkatnya besoknya juga. Tapi sekarang, setelah nunggu dua bulan, jadi kepikiran:
1) Ahh masih mau main-main lagi.
2) Mau jumpa teman-teman di Medan lagi.
3) Mau jumpa sodara-sodara di Medan dulu.
4) Masih mau nikmatin kegiatan-kegiatan di ITB dulu.
Selama kuliah semester dua yang banyak cabutnya ini, saya justru makin merasa attached sama teman-teman kampus. Sial. Sama teman-temannya ya, bukan sama matkul-matkulnya yang tambah gila.
Yaudalah, gitulah pokoknya.
Sama juga dengan kejadian sekarang. Waktu masih bulan-bulan Desember, waktu baru dapat pengumuman, ngarepnya berangkatnya besoknya juga. Tapi sekarang, setelah nunggu dua bulan, jadi kepikiran:
1) Ahh masih mau main-main lagi.
2) Mau jumpa teman-teman di Medan lagi.
3) Mau jumpa sodara-sodara di Medan dulu.
4) Masih mau nikmatin kegiatan-kegiatan di ITB dulu.
Selama kuliah semester dua yang banyak cabutnya ini, saya justru makin merasa attached sama teman-teman kampus. Sial. Sama teman-temannya ya, bukan sama matkul-matkulnya yang tambah gila.
Yaudalah, gitulah pokoknya.
Minggu, 16 Februari 2014
Call From Samantha
The setting of the movie is a slightly more modern world than ours. The voice command technology was amazing. I tried using my phone's voice command once and instead of opening calculator, which I wanted to do, the phone called someone. But in the movie, the voice command was everything. No one uses keyboard anymore, everything is done through voice. Check e-mails. Delete. Next. Play melancholy song. Play another song. Everything is through voice.
Then again, that isn't also the thing that I want to talk about. Almost forgot, spoiler alert!
A few minutes into the movie, there was a new operating system being introduced in the world. Not Windows, not MacOS, but it was called the OS1. The OS was the first artificially intelligence OS. So anyone that used it only need to command the computer to do whatever he wanted. The protagonist installed the OS and had female voice as his OS. The OS named herself: Samantha.
Since the OS was verrrrryyyyy..... smart (it read a book in 2/100 second), it learned very quickly about many things, more than it should be programmed. Wait! Don't expect it to be like Terminator where the computers rebelled against the humans. No, the computers didn't. Instead of making dangerous robots, the computer and the owner fell in love. Fell. In. Love. With each other. They made love through talking, they were jealous with each other, cried when the other disappeared, just like real lovers.
Watching it just made me sad. There are billions of people, well maybe millions of people in LA (where the story is), yet the protagonist chose an OS. The reason was ehh because she was full of life if I wasn't mistaken. I just can't imagine if this really happens in the future. I guess there is a possibility for this to happen. People in the world have same sex love, inanimate objects love and now there is a chance in the future that people love something invisible. Something programmed.
Jumat, 14 Februari 2014
Monbukagakusho - Pre-Arrival Information
Kurang lebih seminggu yang lalu, ada informasi baru dari kedutaan mengenai penempatan sekolah bahasa untuk tahun pertama. Saya berharapnya sebenarnya dapat Osaka, soalnya biayanya lebih rendah dan bisa kerja part-time. Di pemberitahuan baru itu ternyata saya dapat sekolah bahasanya di Tokyo University of Foreign Studies. TUFS singkatnya.
Nah kemarin saya dapat e-mail langsung dari pihak TUFS-nya. Nanti, mulai April, saya bakalan belajar di Japanese Language Center (JLC) yang ada di TUFS. Di e-mail kemarin itu mereka nyertain dokumen buat diisi, nanyain nama, panggilan, bahasa ibu, kemampuan bahasa Jepang dan sebagainya. Selain dokumen itu juga ada file .pdf penting mengenai JLC.
Isinya banyak, dari mulai ngasi tahu apa-apa yang harus dibawa (kayak pas foto, paspor), penjemputan di Narita dari pihak JLC, fasilitas kamar, fasilitas kampus, kantin, sampai harga-harga beberapa makanan pokok. Informasinya lengkap sampai gak ada yang perlu dikhawatirin lagi soal berada di sananya. Handbook ini juga ngasi tahu soal pelajaran-pelajaran yang bakalan saya pelajari di sana. Berhubung saya milih IPA A waktu daftar, jadi saya dapatnya Fisika.
Kebanyakan orang belajar Fisika 6/7 tahun (SMP + SMA + tingkat 1 kuliah), saya dapat tambahan 1/2 tahun lagi. *sigh
Pokoknya begitulah perkembangan terbaru dari dunia per-Monbukagakusho-an. Semoga informasi ini dapat membantu teman-teman yang mau ikut program ini.
Jumat, 31 Januari 2014
Monbukagakusho - Wawancara
Salah satu bagian yang paling buat jantung debar-debar itu bagian wawancara. Walaupun kata bapak yang mengurusi kegiatan tesnya, wawancara itu tidak begitu berpengaruh dan yang lebih berefek ke hasil akhir itu hasil tes akademik, tetap aja wawancaranya bikin ekspresi kaku dan tangan jadi dingin. Wawancara untuk peserta beasiswa S1 itu diadakan tanggal 19 Agustus 2013 di Kedutaan Besar Jepang.
Sampai di Kedubes, saya baru tahu kalau ternyata ada begitu banyak mahasiswa ITB lain yang juga ikut beasiswa ini. Hal yang buat saya senang adalah saya bukan satu-satunya mahasiswa ITB yang gak resmi. Beberapa saat kemudian kami semua dipersilahkan masuk ke hall kedubesnya, lalu acaranya dimulai. Bapaknya jelasin kalau hari ini ada tes Bahasa Jepang (WHAT?), pengisian formulir beasiswa dan wawancara. Bapaknya sih nyuruh tenang aja soal tes Bahasanya. "Yang penting diisi aja," gitu katanya.
Setelah beberapa basa-basi penjelasan lain, soal tes Bahasa Jepang dibagikan satu-satu. Ada tiga tingkat soalnya. Dari mulai yang mudah (yang gak ada kanjinya), menengah sampai tingkat tinggi (yang banyak kanjinya). Saking gak ngertinya, saya bahkan gak tahu soal itu minta jawaban yang gimana. Dengan menggunakan seluruh pengetahuan hiragana yang saya punya, ditambah nyontoh-nyontohin kanji di halaman-halaman selanjutnya, akhirnya semua soal terisi. Cuma bisa ketawa-ketawa sendiri waktu ngisi tesnya sembarangan. Bapaknya juga terakhir ngasi tahu kalau tes bahasa ini tidak memengaruhi hasil akhir.
Kegiatan selanjutnya adalah pengisian formulir. Sebelum hari wawancara, seluruh peserta disuruh untuk mengisi formulir dan membawa dokumen-dokumen yang diperlukan. Ternyata formulir yang kami isi sebelumnya itu bukan formulir sebenarnya. Pas hari wawancara itulah kami mengisi formulir pendaftaran beasiswa yang sesungguhnya. Totalnya ada empat set aplikasi yang harus diisi.
Masih ada dua lembar lagi |
Apa alasan kamu mengikuti beasiswa Monbukagakusho?
Kenapa kamu memilih Jepang?
Kuliah dimana sekarang?
Bagaimana kalau kamu nanti tidak diterima di universitas yang top, misalnya Tokyo University?
Wawancaranya dilakukan dalam bahasa Inggris, walaupun misalnya gak bisa Inggris juga boleh-boleh aja pakai bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak akan membuat gak lulus kok. Setiap pertanyaan yang diberikan ditujukan untuk kelima peserta, jadi bergilir menjawabnya. Pertanyaan yang dikasih gak begitu banyak. Tapi sewaktu lagi menjawab, mereka sering menanyakan hal-hal lainnya, kayak "How?" Selain itu, saya dan seorang lagi juga dapat pertanyaan ekstra.
Kenapa pilihan jurusannya cuma satu? Kemungkinan lulusnya kan jadi lebih kecil.
Pertanyaan ini yang buat saya super debar waktu wawancara. Begitu berdebarnya sampe pandangan mata saya mutar-mutar dan kepala saya pusing, walaupun saya udah punya jawaban pastinya. Saya berusaha fokus mandangin si ibu-ibu dan berharap lidah saya gak kepilintir waktu ngejawab.
Selesai dengan wawancara, kami dikembalikan ke hall untuk menyelesaikan formulir. Formulir dikumpulkan dan kemudian saya pulang.
Gitulah kurang lebih wawancara yang saya jalanin.
Senin, 20 Januari 2014
Tumbuh
Saya udah tambah tua. Bukan tua yang betul-betul tua juga, masih delapan belas tahun kok. Tapi tua yang udah gak dianggap anak-anak lagi.
Dulu, berantem, berselisih paham sama kedua abang itu kayak kegiatan sehari-hari. Dari mulai gara-gara ejek-ejekan, main video game, rebutan barang, sampai gulat-gulatan. Biasanya berakhir dengan ketawa-ketawa (yang ditutup dengan mama marah), atau saya ngadu, atau saya nangis, atau pernah sekali justru bukan saya yang nangis. Waktu udah tambah besar, berantemnya berkurang, lebih banyak becandaannya, timpa-timpaannya, ketawa-ketawa sampe batuk-batuknya.
Kalau sekarang gimana? Sekarang udah berbeda, jauh berbeda. Sekarang, setelah jadi "tua", tiap jumpa, misalnya lagi jalan-jalan di mall terus makan di restoran, bakalan ada sesi nasihat setelah selesai makan. Kau nanti gini ya!, Jangan nanti abang dengar kau kayak gini!, Ifan harus manfaatin kesempatan!, Jangan malas-malas belajar, jangan banyak kali main-main!, dan berbagai nasihat lainnya. Sebagai gantinya, orang tua saya udah gak begitu sering lagi ngasih-ngasih nasihat kayak beginian. Gimana pun juga bukan cuma saya aja yang tambah tua, abang-abang saya juga udah tambah tua (yang satu 26, yang satu lagi 30) dan bukan peran mereka lagi buat main-main, ejek-ejekan, rebut-rebutan.
Tapi saya masih pengen dianggap anak-anak.
Langganan:
Postingan (Atom)