Jumat, 31 Januari 2014

Monbukagakusho - Wawancara

Yak, Monbukagakusho. Saya agak bingung sebenarnya mau ngomongin apa, jadi saya skip ke hal-hal yang menurut saya lebih menarik.

Salah satu bagian yang paling buat jantung debar-debar itu bagian wawancara. Walaupun kata bapak yang mengurusi kegiatan tesnya, wawancara itu tidak begitu berpengaruh dan yang lebih berefek ke hasil akhir itu hasil tes akademik, tetap aja wawancaranya bikin ekspresi kaku dan tangan jadi dingin. Wawancara untuk peserta beasiswa S1 itu diadakan tanggal 19 Agustus 2013 di Kedutaan Besar Jepang.

Sampai di Kedubes, saya baru tahu kalau ternyata ada begitu banyak mahasiswa ITB lain yang juga ikut beasiswa ini. Hal yang buat saya senang adalah saya bukan satu-satunya mahasiswa ITB yang gak resmi. Beberapa saat kemudian kami semua dipersilahkan masuk ke hall kedubesnya, lalu acaranya dimulai. Bapaknya jelasin kalau hari ini ada tes Bahasa Jepang (WHAT?), pengisian formulir beasiswa dan wawancara. Bapaknya sih nyuruh tenang aja soal tes Bahasanya. "Yang penting diisi aja," gitu katanya.

Setelah beberapa basa-basi penjelasan lain, soal tes Bahasa Jepang dibagikan satu-satu. Ada tiga tingkat soalnya. Dari mulai yang mudah (yang gak ada kanjinya), menengah sampai tingkat tinggi (yang banyak kanjinya). Saking gak ngertinya, saya bahkan gak tahu soal itu minta jawaban yang gimana. Dengan menggunakan seluruh pengetahuan hiragana yang saya punya, ditambah nyontoh-nyontohin kanji di halaman-halaman selanjutnya, akhirnya semua soal terisi. Cuma bisa ketawa-ketawa sendiri waktu ngisi tesnya sembarangan. Bapaknya juga terakhir ngasi tahu kalau tes bahasa ini tidak memengaruhi hasil akhir.

Kegiatan selanjutnya adalah pengisian formulir. Sebelum hari wawancara, seluruh peserta disuruh untuk mengisi formulir dan membawa dokumen-dokumen yang diperlukan. Ternyata formulir yang kami isi sebelumnya itu bukan formulir sebenarnya. Pas hari wawancara itulah kami mengisi formulir pendaftaran beasiswa yang sesungguhnya. Totalnya ada empat set aplikasi yang harus diisi.

Masih ada dua lembar lagi
Nah, selama pengisian dokumen itulah wawancara dilakukan. Lima-lima orang dipanggil untuk wawancara. Saya kebagian giliran setelah jam istirahat siang. Anehnya, empat orang yang bersama saya empat-empatnya dari kampus yang sama dengan saya. Masuk ke ruang wawancara, saya dapat posisi di tengah-tengah. Interviewer nya ada orang Indonesia, ibu-ibu pakai jilbab dan dua orang Jepang, yang satu bahasa Inggrisnya jelas, yang satu lagi nggak. Setelah duduk, kami memperkenalkan diri, lalu diluncurkanlah pertanyaan-pertanyaan.

    Apa alasan kamu mengikuti beasiswa Monbukagakusho?
    Kenapa kamu memilih Jepang?
    Kuliah dimana sekarang?
    Bagaimana kalau kamu nanti tidak diterima di universitas yang top, misalnya Tokyo University?

Wawancaranya dilakukan dalam bahasa Inggris, walaupun misalnya gak bisa Inggris juga boleh-boleh aja pakai bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak akan membuat gak lulus kok. Setiap pertanyaan yang diberikan ditujukan untuk kelima peserta, jadi bergilir menjawabnya. Pertanyaan yang dikasih gak begitu banyak. Tapi sewaktu lagi menjawab, mereka sering menanyakan hal-hal lainnya, kayak "How?" Selain itu, saya dan seorang lagi juga dapat pertanyaan ekstra. 
   
    Kenapa pilihan jurusannya cuma satu? Kemungkinan lulusnya kan jadi lebih kecil.

Pertanyaan ini yang buat saya super debar waktu wawancara. Begitu berdebarnya sampe pandangan mata saya mutar-mutar dan kepala saya pusing, walaupun saya udah punya jawaban pastinya. Saya berusaha fokus mandangin si ibu-ibu dan berharap lidah saya gak kepilintir waktu ngejawab. 

Selesai dengan wawancara, kami dikembalikan ke hall untuk menyelesaikan formulir. Formulir dikumpulkan dan kemudian saya pulang.
Gitulah kurang lebih wawancara yang saya jalanin.

Kalau mau detil-detil lebih banyak mengenai Monbukagakusho (apa itu Monbukagakusho? kenapa namanya ribet?) bisa cek ke blog-blog berikut ini:

Senin, 20 Januari 2014

Tumbuh


Saya udah tambah tua. Bukan tua yang betul-betul tua juga, masih delapan belas tahun kok. Tapi tua yang udah gak dianggap anak-anak lagi.

Dulu, berantem, berselisih paham sama kedua abang itu kayak kegiatan sehari-hari. Dari mulai gara-gara ejek-ejekan, main video game, rebutan barang, sampai gulat-gulatan. Biasanya berakhir dengan ketawa-ketawa (yang ditutup dengan mama marah), atau saya ngadu, atau saya nangis, atau pernah sekali justru bukan saya yang nangis. Waktu udah tambah besar, berantemnya berkurang, lebih banyak becandaannya, timpa-timpaannya, ketawa-ketawa sampe batuk-batuknya.

Kalau sekarang gimana? Sekarang udah berbeda, jauh berbeda. Sekarang, setelah jadi "tua", tiap jumpa, misalnya lagi jalan-jalan di mall terus makan di restoran, bakalan ada sesi nasihat setelah selesai makan. Kau nanti gini ya!, Jangan nanti abang dengar kau kayak gini!, Ifan harus manfaatin kesempatan!, Jangan malas-malas belajar, jangan banyak kali main-main!, dan berbagai nasihat lainnya. Sebagai gantinya, orang tua saya udah gak begitu sering lagi ngasih-ngasih nasihat kayak beginian. Gimana pun juga bukan cuma saya aja yang tambah tua, abang-abang saya juga udah tambah tua (yang satu 26, yang satu lagi 30) dan bukan peran mereka lagi buat main-main, ejek-ejekan, rebut-rebutan.

Tapi saya masih pengen dianggap anak-anak.